Dalam banyak kesempatan ketika saya membimbing kegiatan literasi, baik di sekolah maupun di pesantren saya selalu memulai dengan pertanyaan "Apa itu literasi?" Jawaban yang saya dapatkan dari siswa maupun santri tentu sangat beragam, tapi sebagian besar mereka memberikan jawaban bahwa literasi itu adalah "Membaca".Â
Jawaban ini tentu saja tidak salah meskipun belum sepenuhnya benar. Saya selalu menekankan kepada siswa maupun santri yang saya bimbing bahwa "literasi itu adalah membaca dan menulis". Ini saya katakan berulang-ulang untuk memberikan penekanan bahwa kegiatan literasi itu bukan hanya membaca, tapi juga menulis.
Terkait dengan hal tersebut, beberapa senior saya yang sudah lebih berpengalaman dalam dunia jurnalistik bahkan menyebutkan bahwa "pembaca yang baik adalah dengan cara penulis yang baik dan juga sebaliknya, penulis yang baik adalah pembaca yang baik".
Adagium ini konon katanya untuk melukiskan bahwa dalam konteks kegiatan literasi, membaca dan menulis adalah dwi-tunggal. Membaca dan menulis adalah dua sisi dari satu uang yang sama, dua aktifitas yang satu sama lain harus berjalan secara padu dan integratif.Â
Dalam hubungan ini, Grifiin dkk (2012) menjelaskan literasi melingkupi keterampilan membaca, meneliti, berpikir kritis dan analitis,, keterampilan partisipasi sosial dan keterampilan berkomunikasi. Salah satu bentuk keterampilan berkomunikasi adalah melalui tulisan dan ini didapat dari sumber bacaan.
Melalui hasil bacaan kita dapat membuat tulisan, dan melalui tulisan maka seseorang dapat mengkomunikasikan gagasan, ide, dan, buah pikirnya dalam bentuk paparan kata-kata secara tertulis dan memiliki makna. Melalui menulis, manusia mengalirkan pikiran, paduan dari otak kanan dan kiri dituangkan menjadi teks yang dapat dimaknai.
Dalam konteks akademik dan pembelajaran, membaca dan menulis juga menjadi bagian terpenting dari proses belajar. Para ahli neurologi menilai bahwa kegiatan literasi dalam arti membaca-menulis merupakan aktifitas yang menggabungkan kedua belahan otak yaitu otak kanan yang mengatur kreatifitas dan otak kiri yang mengatur logika.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa kegiatan literasi adalah suatu kegiatan yang luar biasa baik dalam keseimbangan antara perasaan dan pikiran. Untuk menghasilkan peserta didik yang dapat mengembangkan keterampilan ini, tentu dibutuhkan guru profesional yang aktif, kreatif dan inovatif.
Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang kini tengah digalakan pemerintah tentu sangat relevan dan strategis untuk mendorong tumbuhnya budaya literasi. Untuk konteks Jawa Barat, program WJLRC (West Java Leaders Reading Chalange) tampak memperlihatkan hasil cukup signifikan bagi terciptanya budaya gemar membaca (reading habit) terutama di kalangan siswa di sekolah.
Dalam beberapa kunjungan saya ke sejumlah sekolah, para siswa tampak antusias dengan kegiatan safari literasi. Hampir di semua sekolah yang saya kunjungi bahkan terdapat siswa-siswi yang sangat menonjol dengan capaian tingkat literasi yang membanggakan. Ada beberapa siswa yang menamatkan belasan buku dalam dua bulan terakhir. Mereka juga memiliki kemampuan untuk membuat review hasil bacaannya serta mempresentasikannya di depan kelas.
Bagi saya sebagai guru pegiat literasi, kondisi seperti ini tentu sangat menggembirakan. Saya yakin kalau kita mampu menjaga suasana, ritme, dan merawat semangat ini secara konsisten maka sudah dapat dipastikan bahwa budaya literasi kita akan mengalami peningkatan signifikan.
Untuk itu, guru tentu menjadi ujung tombak beragam program literasi yang kini dicanangkan pemerintah, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional. Dalam hubungan ini pula keberhasilan program-program seprti GLS, WJLRC dan program literasi lainnya akan sangat bergantung pada peran guru sebagai ujung tombaknya.*
SITI MAROAH, S.SOS
Guru Sosiologi, Pembina Literasi SMAN 1 Banjar, Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H