Komisi Lima membahas mengenai penguatan sistem perbukuan dan program literasi, antara lain merekomendasikan penyediaan buku bermutu, murah, dan merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) dengan berbagai strategi dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan; peningkatan peran pemerintah daerah dalam menjamin ketersedian buku bermutu, murah, dan merata di daerahnya; penguatan sepuluh 10 unsur pelaku perbukuan untuk mengoptimalkan ekosistem perbukuan dalam rangka menunjang gerakan literasi nasional.
Literasi sebagai Kunci
Kelima rekomendasi tersebut tentu sangat penting dimana satu sama lain saling memperkuat pemajuan pendidikan dan kebudayaan dalam berbagai dimensi. Namun saya ingin lebih fokus dan menggarisbawahi salah satu rekomendasi tersebut, yakni mengenai penguatan sistem perbukuan dan gerakan literasi.
Jika kita sering mendengar bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah tulang punggung yang menjadi fondasi bagi kemajuan suatu bangsa, maka literasi adalah poros terpenting dari pendidikan dan kebudayaan. Tidak heran jika sastrawan Amerika Serikat, Thomas Stearns Eliot (1888) pernah berpetuah: "Kita akan kesulitan membangun peradaban tanpa budaya literasi".
Fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa bangsa dan negara-negara maju adalah mereka yang memiliki apresiasi tinggi pada dunia literasi. Namun ironisnya, potret masih rendahnya budaya literasi di negeri ini sudah menjadi rahasia umum.
Banyak survey dan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa budaya literasi di Indonesia masih masuk kategori memprihatinkan. Hal ini secara jelas tergambar dalam bagan "Tingkat Literasi Negara-negara di Dunia" versi World's most Literate Nations" (2016) sebagai berikut.
Salah satu contohnya, di level Provinsi Jawa Barat, program GLS antara lain diterjemahkan dalam program WJLRC (West Java Leaders Reading Challenge). WJLRC ini semacam dorongan sekaligus tantangan untuk siswa-siswi di sekolah agar lebih semangat dalam mengikuti beragam kegiatan literasi. Program WJLRC telah dilakukan dalam beragam kegiatan dan diakui telah banyak mendorong tumbuh kembangnya semangat literasi siswa-siswi di sekolah.
Namun demikian, semangat dan gerakan literasi tentu tidak dapat dibangun sebatas formalitas hanya di sekolah-sekolah secara top-down. Gerakan ini harus dibarengi dan disinergikan dengan upaya lainnya secara bottom-up sehingga gerakan literasi menjadi lebih massif dan pada gilirannya budaya literasi dapat berimplikasi pada penguatan pendidikan dan pemajuan kebudayaan secara simultan. Fenomena kemajuan Jepang dan Korea Selatan, misalnya, dapat menjadi contoh sekaligus inspirasi betapa budaya literasi yang mereka miliki menunjukkan implikasi positif bagi kemajuan yang diraihnya, terutama kemajuan kedua negara itu dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Lebih dari itu, inspirasi dan dorongan semangat zaman berupa hadirnya Revolusi Industri 4.0., dorongan gerakan literasi yang sudah mulai massif harus ditangkap sebagai momentum penting dan strategis untuk meningkatkan, memperkuat serta memajukan pendidikan dan kebudayaan secara signifikan./end
SITI MAROAH, S.SOS | Guru Sosiologi, SMAN 1 Banjar, Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H