Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Seorang penulis lepas yang mengagumi dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Lupa Pulang

13 Oktober 2023   15:30 Diperbarui: 13 Oktober 2023   15:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu terik mentari menyengat di sekitar daerah Bandung Timur. Di sebuah masjid yang kubahnya telah usang digerus waktu namun tampaknya tetap menjadi tempat ibadah para pelancong serta warga pribumi untuk menemui sang penciptanya. Sebagai tempat mengadu nasib serta pelipur lara tentunya beragam sosok manusia yang  berbeda latar belakang akan sering ditemui. Tepatnya di selasar masjid seorang nenek tua renta tengah merentangkan badannya yang sudah membungkuk.  

"Cape neng," sahut beliau sembari merapikan dagangannya.

Boboko namanya, sebuah tempat makanan yang terbuat dari bambu.

"buatan sendiri ini mah neng, emak bikin tahun lalu sama cucu,"

Disibaknya kain penutup boboko tersebut lalu tampak terlihatlah apa yang dijual nenek ini

"kemarin ada yang pesen dagangan emak, si horeng sanes rezeki, dibalikeun dei daganganna, saurnamah mahal cenah,"

Makanan ini sering ditemui kala berkunjung ke desa-desa di daerah cianjur hingga cililin. Makanan ini dibuat dari olahan singkong yang dikeringkan, opak namanya. Orang Bandung pasti tahu bentuk dan rasanya seperti apa.

Opak ini dijual dengan harga Rp5.000,00 per pieces, untuk orang yang tinggalnya di daerah perkotaan tentunya tak akan tercetus kata mahal di bibirnya. Terlebih di daerah Bandung Timur mobilitas penduduk dapat dikatakan sudah berjalan baik seperti di perkotaan pada umumnya.

"udah biasa emak mah ditolak wae dagangan teh," 

Nenek ini asli Bandung, Majalengka, setiap hari berdagang dari satu tempat ke tempat baru, hal-hal yang dirasa oleh orang awam kejam dikatakan, nenek sudah biasa mendengar dan mendapatkan respon seperti itu.

"emak gak bisa nyesuain zaman, sekarang makin pusing, banyak anehnya dunia tuh,"

Diketahui nenek tinggal berdua dengan cucunya yang berusia 7 tahun, mobilitas, digitalisasi, ataupun transformasi sangat awam di telinga nenek. Dia hanya paham jika punya uang, hidup akan lebih menghargainya.

"tahun-tahun sekarang udah mau ganti presiden ya neng?,"

Tak masalah jika presiden berganti, kedaulatan di rubah, pancasila dihilangkan. Hidup orang miskin yang tak pandai akan tetap sama, tutur nenek. 

"emak cuma pengen, hidup tenang sama cucu, neng jangan lupa pulang ke rumah ya" gelaknya sambil tertawa khas nenek-nenek.

Kala itu semilir angin dengan suara klakson kendaraan beroda menemani percakapan di bawah terik mentari.

Notes: Narsumb tidak ingin dipublish namanya

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun