Oleh Siti Mardhotilah / 1104617059
Pendidikan di indonesia hingga detik ini belum juga mengalami ke majuan. Telah banyak upaya yang di gencarkan oleh pemerintah mulai dari di benahinya kurikulum pendidikan, meningkatkan anggaran pendidikan, menunjang biaya kehidupan guru, Â dll. Apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia?
Berkaca pada data yang di lansir dari tirto.id (02/05/2019) Indonesia berada di urutan 67 dari 125 negara di dunia dalam peringkat GTCI 2019. Sangat mengesankan untuk tingkat keterpurukan pendidikan bagi negara besar seperti indonesia.
Seperti yang kita tahu bahwa indonesia adalah negara yang besar dan kaya akan sumber daya alam. Namun, realita itu belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat indonesia sendiri.
Negara yang kaya akan sumber daya alam tidak akan mampu memanfaatkan ke kayaannya tanpa di dukung oleh sumber daya manusia.
Pendidikan adalah satu-satunya fasilitas untuk membentuk sumber daya manusia. Kembali pada realita bahwa indonesia belum mampu memberikan fasilitas pendidikan yang memadai meski dengan anggaran pendidikan yang setiap tahunnya terus meningkat.
Pada 2014, misalnya, anggaran pendidikan mencapai Rp375,4 triliun dan naik menjadi Rp492,5 triliun pada 2019 atau 20 persen dari Belanja APBN. Fakta fakta tersebut membuat pertanyaan besar mengapa pendidikan belum juga mampu menjadi penunjang kemajuan bangsa kita.
Anggaran pendidikan sebesar 20% dari belanja APBN harusnya mampu memberikan solusi atas masalah-masalah kebutuhan pendanaan pendidikan. Operasional sekolah, fasilitas sekolah, hingga biaya sekolah harusnya bukan lagi menjadi suatu kendala utama.
Program 12 tahun wajib belajar akan terlaksana, hanya perlu mengembangkan kurikulumnya saja. Titik utama permasalahan Pendidikan di negeri tercinta ini terletak pada system pengelolahan kurikulum yang tak kunujung menemukan titik terang.
Kursi panas meneteri Pendidikan dan Kebudayaan yang turut bergoyang setiap ajang kompetisi perpolitikan dalam negeri telah berhasil oleh salah satu kandidat yang mencalonkan diri. Berganti nya Menteri turut membuat kurikulum juga berganti.
Seakaan tidak ingin kalah pamor berkedok ingin memperbaiki Pendidikan Indonesia yang ada malah membuat semua menjadi lebih rumit. Guru -- guru di sekolah di tuntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan cepat dan cermat setiap ada peraturan baru mengenai kurikulum yang baru terbit, seperti halnya matahari pagi yang terbit berharap mampu menghilangkan satu penyakit tapi malah membuat semua semakin sulit dan terhimpit.
Nyaris anggaran Pendidikan yang telah di sediakan tak berbuah hasil apa -- apa. Bukan anggarannya yang kurang tebal namun pengelolaan sistemnya yang masih minim akal. Sampai kapan kurikulum Pendidikan di Indonesia turut bertransisi seiring dengan berguling kursi Menteri?
Namun apa daya rakyat biasa, kebijakan sudah menjadi kekuatan utama untuk berbuat sesukanya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Tanpa di sadari peraturan -- peratuan yang telah tersusun rapih seakan tak merugikan siapapun dan mengkhianati golongan manapun.
Sesuai dengan kondisi lapangan yang saya alami, saya mengenyam Pendidikan di sekolah negeri hanya saat masih duduk di bangku SD. Saat SMP dan SMA ayah saya tidak sanggup untuk menyekolahkan saya di sekolah negeri karna biaya awal masuk sekolah yang tinggi.
Bagi kami rakyat dengan perekonomian rendah tak akan mampu mengeluarkan uang beberapa juta untuk awal masuk sekolah, belum lagi untuk keperluan beli seragam, buku, dll. Hal ini membuat kami ciut diri dan memilih untuk menepi bersekolah dengan status sekolah swasta.
Bukan suatu masalah bersekolah di negeri atau swasta sekalipun, yang menjadi masalah adalah mengapa pada akhirnya banyak rakyat yang kurang mampu yang harus bersekolah di swasta? Bukankan anggaran Pendidikan negara paling banyak masuk ke sekolah -- sekolah negeri? Kalau begitu apakah bukan seharusnya rakyat yang kurang mampulah yang bersekolah di negeri karena sekolah swasta tidak di cover secara besar -- besaran dalam hal biaya oelh negara.
Inilah mirisnya system Pendidikan yang ada di Indonesia.
Sekolah negeri yang telah mendapatkan anggaran dana Pendidikan besar dari negera malah di jangkau oleh para kalangan anak -- anak dengan perekonomian menengah ke atas, sedangkan anak -- anak dengan perekonomian menengah kebawah harus puas dengan mengenyam Pendidikan di sekolah swasta yang harus bayar dan bahkan sekolah swasta memberikan anggarannya ke negara.
Ini berarti anak -- anak miskin di Indonesia tidak semata -- mata miskin pada kenyataannya karena anak -- anak miskin yang bersekolah di swasta membantu anggaran dana Pendidikan anak -- anak orang kaya yang bersekolah di negeri. Ini sebuah kelucuan yang membuat siapapun yang sadar dengan yang terjadi sebenarnya tak ingin tertawa.
Jika ada suatu kejanggalan yang terjadi terkadang yang ersangkutan tak ingin di salahkan. Para pejabat bungkam takut -- takut salah ucap, dan di balik itu mereka mulai mengadakan rapat -- rapat yang harus menyelasaikan permasalahan yang sedang terjadi.
Dalam keadaan terhimpit, baik terhimpit oleh waktu atau terhimpit oleh keadaan petinggi hanya memiliki 2 pilihan, perbaiki sistemnya atau singkirikan penghamtnya.
Jika di rasa memperbaiki sitem memerlukan waktu yang lama, maka akan di pilih langkah yang cepat dan di anggap tepat yakni singkirkan penghambatnya. Semua yang di anggap penghambat harus di selesaikan dan singkirkan.
Permasalahannya adalah penghambat yang mana yang harus di singkirkan? Penghambat Pendidikan atau penghambat kepentingan? Semua akan terjawab setelah sesi periode terlewati, apakah kondisi Pendidikan kian membaik atau malah kian terpuruk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H