Desa Sumberberas, Muncar, Banyuwangi adalah sebuah permata tersembunyi yang kaya akan budaya dan tradisi. Desa Sumberberas merupakan contoh nyata bagaimana sebuah desa berhasil melestarikan tradisi dan budaya leluhur di tengah arus modernisasi.
“Desa memegang kunci sebagai pelestari kebudayaan”, tutur Bapak Sumariyono, Sekretaris Desa Desa Sumberberas
Desa pemegang kunci agar budaya tetap lestari
Desa Sumberberas, seiring berjalannya waktu, telah melalui berbagai gejolak di tiap babak pergeseran zaman. Menurut Bapak Sumariyono, menjadi suatu hal yang amat penting, desa menjadi tonggak pelestari budaya yang memelopori masyarakatnya untuk terus membudaya dan mentradisi.
Dalam memperingati tahun baru Islam 1446 H (sasi sura), Desa Sumberberas mengadakan kegiatan ‘Bersih Desa’ yang telah lama dilakukan secara turun temurun. ‘Bersih Desa’ telah menjadi tradisi tahunan sebagai langkah pembersihan diri (bagi desa, seluruh perangkat, dan masyarakatnya) dan menolak segala bala melalui prosesi-prosesi di dalamnya, seperti kegiatan doa lintas agama, selametan, upacara ruwatan, serta pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Doa Lintas Agama –yang mungkin sedikit dapat ditemui di daerah-daerah lain—menjadi kegiatan pasti di Desa Sumberberas sebagai simbol toleransi beragama, kebersatuan, dan persaudaraan serta sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap para penganut keyakinan/agama di Desa Sumberberas. Tak dipungkiri, masyarakat Desa Sumberberas sangat mendukung kegiatan ini. Segala harapan baik pada Yang MahaKuasa tercurahkan dengan begitu tulus mengharap kebaikan bagi desa dan dihindarkan dari segala marabahaya.
Selametan, prosesi yang dilakukan oleh para penganut agama Islam Desa Sumberberas dengan mendoakan makanan yang disiapkan untuk disajikan dan dibagikan bagi seluruh masyarakat desa.
Seluruh makanan yang telah didoakan akan dibagi rata (tradisi ngeblok). Tradisi ini mencerminkan sikap dimana semua mendapat bagian yang sama tanpa membedakan siapa pemimpin, siapa rakyat.
“Semua sama, semua sama rata”, ujar Bapak Sumariyono
Usai prosesi "selametan", Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk menjadi pertunjukan yang sangat digandrungi masyarakat Desa Sumberberas. Menurut Bapak Sumariyono, wayang yang dahulu dibawa oleh Sunan Kalijaga membawa pesan sebagai salah satu bentuk penanaman moral bagi seluruh masyarakat melalui cerita yang dilakonkan dalang.
Pagelaran ini dilanjutkan dengan Upacara Ruwatan di keesokan harinya. Prosesi ruwatan dimulai dengan dalang melakonkan wayang dengan isi cerita mengenai Desa Sumberberas, pesan-pesan moral, pembacaan doa harapan baik dan dihindarkan dari hal buruk bagi desa dan masyarakatnya. Terdapat wadah berisi air bunga yang menjadi simbol ruwat (pembersihan diri) yang nantinya dibagikan pada warga yang menginginkan untuk dibawa pulang dan mandi dengan air tersebut. Prosesi ini ditutup dengan pemotongan rambut para perangkat desa dan masyarakat.
Rangkaian kegiatan dalam Bersih Desa menunjukkan bagaimana Desa Sumberberas begitu peduli dengan tradisi dan budaya warisan leluhur.
Dengan segala keunikan dan kekayaannya, Desa Sumberberas tidak hanya menjadi rumah bagi masyarakatnya, tetapi juga menjadi destinasi wisata budaya yang menarik bagi para penjelajah.
Dialog Budaya oleh Siti Maghfirotin Na’im, salah satu mahasiswa KKN-PPM UGM Periode II Tahun 2024 dilaksanakan pada hari Senin (⅝) di Balai Desa Desa Sumberberas, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Dialog ini menjadi mungkin sebab keterbukaan Bapak Sumariyono, tokoh kebudayaan Desa Sumberberas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H