Mohon tunggu...
Siti Masyitah
Siti Masyitah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Writing to share some perspectives and ask for some ideas :). I also write at my45travel.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Jadi Vegetarian? Why Not

25 Mei 2012   00:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:50 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Mendengar kata vegetarian, yang ada di benak kita pasti orang yang makannya sayur, buah-buahan, dan tidak makan daging. Ya, tidak salah kok. Vegetarian (bisa dibilang) merupakan sebuah pilihan yang dianut oleh orang-orang yang tidak mengonsumsi daging-dagingan beserta olahannya, melainkan hanya mengonsumsi tumbuh-tumbuhan. Paham vegetarian ini banyak dikaitkan dengan keyakinan tertentu, salah satunya pada agama Hindu. Tidak heran mengapa sebagian besar penduduk India yang merupakan pemeluk Hindu menjadi komunitas vegetarian terbesar di dunia.

Vegetarian sendiri diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, namun secara garis besar terbagi menjadi 3:


  1. Lacto-ovo Vegetarian: Jenis vegetarian yang  masih mengonsumsi telur, susu, dan aneka olahannya.
  2. Ovo-vegetarian: Jenis vegetarian yang sudah tidak mengonsumsi olahan susu namun masih mengonsumsi telur.
  3. Vegan: Kelas tertinggi dalam kasta vegetarian yang tidak lagi mengonsumsi aneka olahan produk hewani.


Saya sendiri sudah sekitar 7 bulan terakhir memilih untuk tidak lagi mengonsumsi daging dan aneka olahannya, boleh dibilang saya termasuk pada jenis yang pertama: Lacto-ovo vegetarian. Saya masih minum susu dan makan telur, karena saya masih suka dan membutuhkan energi dari kedua sumber tersebut.

Lalu kenapa memilih menjadi Vegetarian?

Hmmm... Saya juga masih bingung kalau ditanya demikian, bukan karena ingin keren-kerenan, tapi karena banyak sekali pertimbangannya hingga akhirnya saya pelan-pelan meng-adjust sistem pencernaan ini dengan tidak mengonsumsi daging. Singkatnya, saya punya 3 alasan sederhana:

Pertama, tentu alasan kesehatan. Saya termasuk orang yang paranoid dengan kesehatan sendiri, namun untungnya adalah saya jadi sangat (terlalu) aware terhadap perubahan-perubahan pada tubuh saya. Saya sempat menderita maag dan mantan penderita konstipasi (sembelit) akut. Kurang minum air sedikit saja, besoknya langsung tidak bisa BAB. Saking parahnya sejak tahun 2011 lalu, saya mulai menandai kalender dengan jadwal BAB saya. Dan selama lebih kurang 6 bulan, hasilnya sangat mengejutkan: rata-rata dalam 1 minggu saya hanya BAB 3 kali dan sebagian besarnya keluar dengan sulit! Memang cukup ekstrim kalau hanya gara-gara sembelit saja saya jadi tidak lagi makan daging, tapi saya punya feeling yang kuat kalau perut saya cukup tidak ramah dalam mengolah daging.

Kedua, penyediaan daging sebagai bahan makanan sudah menjadi industri yang tidak manusiawi lagi. Saya masih ingat reportase sebuah TV swasta yang menayangkan kejamnya penyiksaan terhadap sapi sebelum disembelih; mulai dari penyuntikan hingga penggembungan dengan menyesakkan selang air ke perut sapi sampai menggelepar-gelepar tidak berdaya. Itu belum seberapa, setelah disembelih hingga proses pendistribusian daging pun tidak terkira banyaknya sentuhan-sentuhan gaib yang menjadikan daging tersebut mati nutrisi alias contains nothing. Memang tidak semua industri pengolahan daging seperti demikian, tentu masih ada industri yang clean and pure tapi dugaan saya jumlahnya semakin sedikit.

Ketiga, cukup singkat dan mudah, yaitu karena saya memang tidak terlalu suka daging. Kalau di meja makan tersedia pilihan: rendang, ayam goreng, ikan kembung, dan tempe bacem, pilihan saya jatuh pada tempe bacem, sekerat ikan kembung, dan sedikit kuah rendang. Jadi setelah saya timbang-timbang, tidak akan terlalu berat rasanya untuk say goodbye dengan daging sapi.

Setelah 7 bulan berlalu, perubahan apa yang terjadi?

Banyak! Pada 2 bulan pertama jadi sering merasa lemas, dugaan saya karena anemia (dan ternyata benar setelah mengecek kadar Hb darah). Solusinya saya minum tablet penambah darah dan memperbanyak konsumsi telur. Lewat dari 2 bulan tersebut, frekuensi BAB jadi semakin rutin dan konsistensinya tidak lagi keras. Kemudian sendawa dan jerawat jadi semakin berkurang (entah ini ada hubungannya atau tidak).

Bicara berat badan, ternyata tidak berpengaruh banyak. Sempat turun sekitar 2 kilo, tapi sekarang sudah stabil. Satu yang saya pahami, menjadi vegetarian bukanlah cara yang tepat untuk menurunkan berat badan, dan itu memang saya rasakan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun