Fazlur Rahman, dengan pendekatan hermeneutika kontekstualnya, adalah salah satu pemikir yang menawarkan jalan keluar bagi umat Islam yang terjebak antara tradisionalisme yang kaku dan modernisme yang dangkal. Pendekatan "gerakan ganda" yang ia usulkan memahami konteks historis Al-Qur'an untuk menggali nilai-nilai universal dan menerapkannya pada realitas modern adalah solusi visioner.Â
Namun, pertanyaannya: apakah umat Islam siap menghidupkan kembali pemikiran Rahman ini?
Fazlur Rahman adalah salah satu pemikir kontemporer yang mencoba menjembatani dua kutub besar dalam tradisi pemikiran Islam: tradisionalisme yang sering kali mempertahankan teks tanpa mempertimbangkan konteks, dan modernisme yang kadang mengabaikan nilai-nilai spiritual Islam. Melalui pendekatan hermeneutika kontekstual, khususnya konsep "gerakan ganda" (double movement), Rahman mengajukan metode untuk memahami Al-Qur'an secara holistik. Proses ini dimulai dengan menganalisis konteks historis ayat-ayat Al-Qur'an saat diturunkan, untuk kemudian mengekstraksi prinsip-prinsip universal yang dapat diaplikasikan dalam konteks modern.
Namun, penerapan ide ini menghadapi beberapa tantangan. Salah satu kendala utamanya adalah kesiapan umat Islam untuk mengadopsi metode ini, yang membutuhkan keterbukaan intelektual dan pemahaman mendalam terhadap tradisi serta kondisi zaman. Tradisionalis sering kali menganggap pendekatan ini sebagai bentuk tafsir yang terlalu liberal, sementara modernis bisa saja merasa bahwa pendekatan ini masih kurang radikal dalam merespon tantangan global
Tantangan dalam Menerapkan Pemikiran Fazlur Rahman
Pertama, resistensi terhadap perubahan dalam komunitas Muslim masih kuat. Banyak pihak merasa bahwa menggali konteks historis Al-Qur'an dapat dianggap sebagai upaya "mereduksi" kesuciannya. Pandangan ini sering kali muncul dari rasa takut kehilangan identitas religius di tengah derasnya arus globalisasi. Ketika Fazlur Rahman mengajukan gagasan untuk menggali konteks historis Al-Qur'an, banyak pihak menganggap pendekatan ini sebagai ancaman terhadap kemurnian wahyu. Pandangan semacam ini muncul karena pemahaman agama yang tekstual cenderung dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menjaga keaslian ajaran Islam.
Namun, resistensi ini sebenarnya mencerminkan rasa tidak aman dalam menghadapi tantangan modernitas. Di tengah arus globalisasi yang membawa perubahan sosial, budaya, dan nilai, banyak Muslim merasa identitas religius mereka terancam. Mereka memandang Al-Qur'an sebagai benteng pertahanan yang tidak boleh diutak-atik, meskipun interpretasi tertentu mungkin sudah tidak relevan dengan konteks saat ini
Kedua, kesenjangan pendidikan agama. Tidak semua umat Islam memiliki akses untuk memahami metodologi hermeneutika seperti yang ditawarkan Rahman. Padahal, pendekatan ini membutuhkan penguasaan literatur klasik Islam, sejarah, hingga pemahaman isu-isu kontemporer.
Pendekatan hermeneutika kontekstual Rahman, yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang literatur klasik Islam, sejarah, dan isu-isu modern, memerlukan pendidikan yang holistik. Tanpa fondasi pendidikan yang kuat, umat Islam sulit untuk menangkap gagasan bahwa Al-Qur'an bukan hanya teks suci, tetapi juga kitab yang hidup dan dinamis yang dapat memberikan jawaban bagi tantangan zaman.
Selain itu, kurangnya lembaga pendidikan yang mendorong integrasi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern turut memperbesar jurang ini. Banyak institusi hanya menitikberatkan pada hafalan dan pembelajaran tekstual tanpa mengembangkan kemampuan analisis kritis terhadap teks. Akibatnya, pendekatan-pendekatan seperti milik Rahman, yang mencoba menjembatani tradisi dengan modernitas, sering kali dianggap sebagai sesuatu yang asing atau bahkan berbahaya.
Ketiga, tantangan politisasi agama. Di banyak negara, Islam sering kali digunakan sebagai alat politik. Dalam konteks ini, pendekatan seperti milik Rahman, yang berbasis pada nilai-nilai universal, sering dianggap sebagai ancaman karena tidak sejalan dengan agenda kelompok tertentu.