"Anjing, anjing, anjing, anjing, anjing ..."
Seketika telingaku terasa gatal saat enak-enak nugas ada suara anak berusia sekitar 3 tahun-an yang berulang kali menyebutkan nama hewan paling setia di dunia, padahal di depannya tidak ada hewan tersebut. Malah yang ada orang dewasa lalu lalang di depannya. Lalu siapa yang anak ini panggil anjing? Atau hanya imajinasi anak bahwa di depannya ada anjing mungkin ya. Kira-kira, apa respon kamu saat mengetahui kejadian seperti itu?
Well, kali ini aku akan membahas tentang Anjing. Sebelumnya kita bahas arti anjing dulu, setelah aku search di KBBI, kata anjing memiliki arti binatang menyusui yang bisa dipelihara untuk menjaga rumah, berburu dan lain-lain.Â
Arti kata anjing dalam KBBI sama sekali tak menunjukkan bahwa kata anjing ini umpatan, ya gak? Berarti bisa dong kita mengatakan lelaki beristri yang bisa diandalkan untuk menjaga rumah dan menjaga keluarganya dijuluki suami anjing? Wait tenang, kita cari tau lagi kejelasannya sebab aku benar-benar dibuat penasaran, kok bisa sih kata anjing jadi kata umpatan.Â
Informasi yang ku dapat dari voi.com menjelaskan bahwa kata anjing ini menjadi kata umpatan sejak zaman Kolonial. Berawal dari cacian pada budak yang tak menuruti perintah mereka (orang Eropa). Cacian dan makian itu tak hanya dalam bentuk kata anjing, ada juga anak pelacur, pelacur jelata bahkan ada yang lebih buruk dari itu.Â
Pandangan lain mengungkapkan bahwa kata anjing menjadi kata umpatan, sebab dalam ajaran Islam hewan anjing dianggap sebagai hewan najis. Ciri buruk yang dimiliki anjing yang menginspirasi orang-orang untuk menggunakannya sebagai salah satu kata umpatan.Â
Balik ke topik awal, respon pertamaku saat mengetahui kejadian tadi sudah pasti kaget. Aku akan berpikir bahwa si orang tua anak ini tak mampu menempatkan anaknya pada circle yang baik. Padahal sudah kita ketahui bersama, masa usia dini menjadi masa yang sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang anak untuk tahap perkembangan berikutnya. Tadi pagi sempat aku meminta pendapat beberapa teman dan ibu-ibu tentang kejadian di atas.Â
"Kagettt banget"
"Kalau itu ponakan saya, saya marahin"
"Lingkungan yang bikin dia seperti itu"
"Ini pergaulannya gimana sampe begini"
Sejalan dengan responku tentang kejadian ini, semua orang merasa kaget dan berpikiran hal itu bisa terjadi pada anak karena faktor lingkungannya yang kurang baik. Benar saja, anak ganteng ini selalu bermain bersama anak yang usianya terpaut jauh dengannya. Usia teman-temannya sekitar 9-12 tahun-an. Sebab kakaknya yang berusia sekitar 9 dan 12 tahun-an juga. Tak hanya itu, ibunya yang selalu berbicara ceplas-ceplos di depan buah hati, menjadi faktor utama. Masih ingat gak anak merupakan peniru ulung? Nahh, ini dia buktinya.Â
Setelah kukulik-kulik lebih dalam lagi, kakak-kakak anak kecil ganteng ini sering mendengar, melihat kakaknya bermain TikTok dan berkata seperti itu. Ternyata anak ganteng ini memiliki banyak sumber untuk mempunyai perbendaharaan kosa kata yang ditempatkan tidak semestinya. Harusnya kosa kata ini untuk menunjukkan hewan, namun disalah fungsikan untuk memaki. Seakan semakin maju perkembangan zaman, semakin beranekaragam kelakuan tidak seharusnya yang dimiliki anak saat ini.
Bagi sebagian orang dewasa saling memaki menggunakan kata anjing, mungkin hal yang biasa, bahkan mungkin bisa jadi panggilan keakraban. Namun berbeda lagi jika yang melakukan anak usia dini, lebih terkesan tidak pantas sama sekali.Â
Dari sini kita dapat mengambil pelajaran, alangkah baiknya memilah-milah kata sebelum berbicara dengan anak usia dini. Sebab saat anak berusia dini, apa saja yang anak lihat, anak amati, anak alami, anak dengar akan terekam di memori anak. Dan akan diaplikasikan tanpa menyaring hal yang telah direkam tadi. Anak juga masih belum mengerti mana hal baik yang harus disimpan dalam memori dan mana yang harus dibuang jauh-jauh.Â
Semakin terasa gak menikah bukan hanya soal romantisme menjunjukkan puncak bukti cinta? Bareng-bareng yuk kita perbaiki tutur kata saat berbicara pada orang lain. Agar sewaktu-waktu jika ada anak usia dini yang tak sengaja mendengar pembicaraan kita, terstimulus hal baik dari kita. Bisa juga jadi bekal untuk mempersiapkan diri menjadi smart parents. Keuntungannya bukan untuk orang lain kok, tapi untuk kita sendiri, untuk kamu sendiri. Nanti pasti merasakannya, percaya dahh.
Semoga Bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H