Pernah gak kita mengalami tenggorokan terasa kering?
Tiba-tiba kulit merah-merah?
Belakangan ini kita nggak semangat?
Atau mengalami gejala-gejala lainnya??
Lalu karena terlalu penasaran kita mengalami gejala apa. Segera kita mengonsultasikannya pada Dr. Google. Sebab dirasa lebih cepat tinggal klik..klik..klik.Â
Setelah mengecek artikel dari berbagai sumber dan menyocokkan dengan gejala yang kita alami. Kita bukan dibuat lega dengan jawaban di google, malah dibuat panik dan khawatir. Sebab menurut artikel yang kita baca, kita berpotensi mengidap sesuatu yang serius. Atau bahkan mati muda! Nahh, jika kita sering melakukan hal ini. Bisa jadi kita mengalami chyberchondria.
Apa itu chyberchondria?Â
Chyberchondria adalah sebuah tendensi untuk mencari informasi kesehatan dari internet. Atau sederhananya cek gejala online. Dan hal ini dilakukan secara berlebihan sampai menyebabkan kekawatiran yang berlebihan pula. (sumber: kompas.com)
Studi penelitian Harris Inteeractive, mendefinisikan karakteristik chyberchondria sebagai kekawatiran atau kecemasan berlebihan tentang kesehatan.Â
Chyberchondria umumnya lebih banyak terjadi saat seseorang mengalami gejala yang masih tergolong ringan. Sebab mereka yang merasa belum perlu ke dokter, hanya menginginkan jawaban cepat, hemat uang dan waktu. Ataupun alasan lainnya yang menggambarkan orang tersebut malas mengetahui secara pasti apa yang dideritanya. Dalam pikiran mereka hanya menginginkan jawaban cepat dan hemat.
Padahal self-diagnosis yang belum tentu kebenarannya ini, malah bisa menimbulkan masalah yang lebih serius. Seorang chyberchondriac akan selalu cemat dengan kondisi kesehatannya. Dan kecemasan ini bisa menimbulkan stress pada mereka.
Jika orang tersebut sampai mengalami stress, orang tersebut akan mengalami tekanan darah naik, Â sakit kepala, otot tegang, an turunnya imunitasnya. Yang awalnya hanya takut sakit, sebab terkena stress menjadi sakit beneran.Â
Selain itu, self-diagnosis juga dapat memengaruhi cara pandang terhadap diri sendiri. Lalu dalam jangka panjang apat mengganggu kehidupan sosial, profesional dan finansial seseorang. Da yang karena takut sakit jafi cuti kerja, membeli obat-obatan alternatif atau suplemen yang seharusnya tidak dibutuhkan dan sebagainya.Â
Terkadang ada juga orang-orang yang menggunakan hasil dari  self-diagnosis mereka sebagai pembenaran atas hal-hal yang sebenarnya belum tentu diakibatkan oleh penyakit yang mereka kira mereka miliki. Terutama berhubungan dengan penyakit mental (yang sebenarnya nggak semudah itu didiagnosa dari quesioner di internet.Â
"Iya aku marah marah karena aku BIPOLAR"
"Maaf, tugasku belum selesai. Seminggu ini aku DEPRESI"
"Maklum aku ADHD, jadi aku bosenan"
Mungkin beberapa kalimat diatas merupakan contoh ketika kita tanpa sadar menggunakan hasil self-diagnosis kita sebagai pembenaran yang belum tentu benar.Â