Mohon tunggu...
Siti LailatulMaghfiroh
Siti LailatulMaghfiroh Mohon Tunggu... Guru - Halo hai!

Sedang belajar mencintai menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Luka dalam Sebutan Bapak

29 Oktober 2020   15:42 Diperbarui: 29 Oktober 2020   16:49 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini berkat dari bapakmu" ucap budhe nya.

Laki-laki paruh baya itu langsung menerima dua bungkus nasi kotak dan buah-buahan yang diletakkan diatasnya. 

"Dek, berkat dari bapakmu" ucap laki-laki tersebut pada istrinya yang baru selesai beberes setelah sholat magrib. 

Lagi dan lagi bapaknya menitipkan nasi kotak melalui budhenya. Dan bukan beliau sendiri yang datang untuk menghampiri sang anak. Sudah hampir 10 tahun lebih setelah rumah anak sulungnya berdiri. 

Tak pernah sekalipun ada niatan untuk menengok bagaimana kondisi anak dan cucunya di rumah tersebut. Watak yang keras dan dingin seakan menciptakan jarak pada dirinya dengan ketiga anaknya, terutama pada anak perempuan sulungnya. 

Beliau yang lebih mencintai anak laki-laki daripada anak perempuan menimbulkan jarak antara bapak dengan anak perempuan satu-satunya. Beliau juga terlalu menganggap anak perempuan pasti menyusahkan membuat sikapnya tak pernah adil pada anaknya. Pikiran kuno itu telah tertancap pada diri laki-laki tua ini. 

Jarak semakin menjadi setelah kepergian istrinya pada tanggal 30 Juli 2015. Isak tangis dan duka menyelimuti keluarga tersebut, kecuali sang bapak. Ketika istrinya masih dirawat di RS karna penyakit diabetes, 

"Percuma berjuang, pasti bakalan genok" (Percuma berjuang, pasti bakal gk ada)

Ucap bapak, seakan sudah yakin bahwa umur istrinya sudah tinggal sebentar lagi. Ucapan tersebut sungguh melukai perasaan ketiga anaknya yang selama ini hanya mereka saja yang berjuang untuk kesembuhan ibunya. Sedangkan bapak, tak pernah datang untuk menjenguk maupun membantu membiayai pengobatan istrinya. Sekali datang langsung berkomentar pedas. 

Terasa sekali kesetian istrinya selama ini tak pernah ternilai baginya. Jika pada akhirnya, sang suami acuh saat istrinya (istri kedua) sekarat. Sedangkan selama ini sang istri hanya dianggap sebagai karyawan usahanya. Tak dinafkahi secara pantas. 

Tujuh hari setelah kepergian ibunya, ketiga anak beserta anak dari istri pertama bapak berkumpul dirumah bapak. Mereka semua berunding tentang sembako-sembako pemberian pelayat akan disimpan semua atau setengahnya dijual untuk peringatan empat puluh hari ibu mereka nanti.

Saat mereka sibuk berunding, salah satu cucunya melihat bapak (kakeknya) sibuk berpakaian rapi dan hendak keluar. Dia hanya terdiam dan tak berani untuk bertanya kakeknya hendak kemana. 

Esoknya, salah satu anak kedua bapak mendengar bahwa bapaknya kemarin keluar ternyata menikah lagi dengan seorang janda yang ditinggal pergi suaminya ke Makkah. Kabar tersebut sungguh membuat sesak semua anaknya. Terutama anak perempuan sulung bapak. 

Tak habis pikir, apa tujuan bapak menikah untuk yang ketiga kalinya  tanpa persetujuan anak-anaknya. Sedangkan tanah makam istri keduanya masih basah belum kering, sebab masih tujuh harinya. 

"Gk onok sing ngrumat aku" (Gk ada yang merawat aku)

Sekilas itu jawaban bapak pada anak dari istri pertama nya. Jawaban bapak yang memperlihatkan kekawatirannya jika tidak dirawat oleh anak-anaknya. 

Keadaan semakin memanas ketika semua anak-anaknya memindahkan barang-barang milik ibunya dirumah sebelah (rumah milik anak perempuan sulungnya dulu). 

Hari pun berlalu, semua seakan mencoba melupa dengan kejadian yang terjadi meskipun sebenarnya tak bisa lupa. Hanya pura-para lupa. Anak perempuan sulungnya tinggalnya dirumah barunya bersama adik bungsunya. Sedangkan adik pertamanya tinggal di rumah kakak perempuan sulungnya yang dulu. 

Tak ada yang berniat untuk tinggal serumah bersama bapak dan ibu tiri nya, lebih baik menjauh daripada menyiksa batin pikir mereka. Tanpa sepengetahuan ketiga anaknya. Aset tabungan milik almarhumah ibunya dijual semua oleh bapak.

Terutama salah satu tiket berangkat haji di tahun 2020 milik almarhumah istri keduanya diberikan cuma-cuma pada istri barunya. Padahal berangkat ke tanah suci merupakan impian istri keduanya sebelum akhirnya maut menjemputnya. Hal tersebut sungguh membuat sesak anak perempuan sulungnya, karna merasa tak trima jika tiket berangkat haji tersebut diberikan pada orang lain. Tanpa persetujuan ketiga anaknya. 

Namun, seakan Tuhan ikut tak merestui tindakan bapak. Dengan adanya wabah virus corona, yang mana calon jamaah haji tahun ini untuk sementara waktu diundur entah sampai kapan. 

Luka batin semakin menjadi jadi ketika anak perempuan sulungnya mengetahui bahwa adek pertamanya tak diberi saluran air saat tinggal di rumah miliknya dulu. Hal tersebut sangat menyulitkannya ketika akan melakukan aktivitas.

Memang saluran air milik bapak dan rumah anak sulungnya gabung menjadi satu. Tapi saat ini sudah diputus pada bagaian saluran ke arah rumah yang ditinggali adik pertamanya. Pintu penghubung kedua rumah juga ditutup rapat oleh bapak dengan jajaran kayu tebal yang dipaku. 

Sungguh tak habis pikir, sikap bapak yang semakin menjadi-jadi. Disisi lain anak-anak yang merasa serba salah takut jika kesannya durhaka pada bapak sendiri. Tapi disisi lain, mereka tak kuat dengan perlakuan bapak yang makin lama makin melukai batin mereka yang rapuh. 

Itulah yang menyebabkan mereka semua merasa tersiksa dan sesak jika mengingat sebutan Bapak. Sejatinya hanya goresan luka dalam yang muncul jika mereka mengingat sebutan itu.

Hingga kini hubungan bapak dengan anak-anaknya masih saja renggang tak ada habisnya. Meskipun anak-anak bapak setiap lebaran silaturrahmi ke rumah bapak. 

Tapi tetap saja suasana hening, dingin, seperti tak kenal satu sama lain selalu menyelimuti. Tak ada yang berani memulai pembicaraan, tak ada yang berani untuk saling tatap atau bertegur sapa, semua hanya mampu terdiam. 

Kejadian tersebut seakan menjadi trauma bagi semua anak-anaknya. Dan bapak tak pernah terpikirkan akan hal itu. Sungguh miris dan menyedihkan keluarga ini. Yang paling terlihat putus harapan, yaitu si anak bungsu bapak. Sejak lulus SMA ia memutuskan keluar dari pesantren dan ikut bersama kakak perempuan sulungnya. 

Perjuangan membangkitkan semangat hidup membutuhkan waktu yang cukup lama. Berbagai macam pekerjaan pun ia jajahi. Hingga akhirnya kini mendapatkan pekerjaan tetap menjadi cleaning servis. 

Raut wajahnya yang selalu terlihat murung, menggambarkan betapa hancurnya kehidupannya. Seakan menjadi anak yatim piatu, ketika bapaknya tak pernah peduli dengannya lagi sejak tahun 2015. 

Berbeda dengan anak kedua bapak lebih memutuskan untuk menjadi peternak burung kenari dan tinggal di yayasan panti asuhan milik pakdhe nya. 

Sedangkan anak perempuan sulung bapak tetap bertekad kuat untuk semangat melanjutkan hidup demi anak-anak nya dan kedua adik laki-lakinya. Harus terlihat kuat, harus terlihat sabar, harus terlihat bahagia meskipun batinnya sudah tak mampu. 

Perjuangan hidup untuk terus bangkit, benar-benar ada dalam diri mereka semua. Hati yang kuat, sabar dalam menghadapi semua cobaan. Menjadikan mereka, anak-anak bapak terbiasa jika menghadapi sebuah masalah sebesar apapun. 

Bersyukurlah kita yang masih memiliki orangtua lengkap. Bersyukurlah kita yang masih diberi perhatian, kasih sayang dan masih dianggap keberadaannya oleh orangtua kita. 

Mari merenung bersama, sudahkah kita bersikap baik pada kedua orangtua kita?? Sudahkah kita tak melukai hati dan perasaan mereka?? Tak bisa dibayangkan jika kita berada diposisi anak-anak bapak yang tak pernah dianggap keberadaannya. 

Yok kita jaga sama-sama kedua orangtua kita mumpung kita masih bisa melihat raut wajah mereka di dunia ini. Bisa jadi sikap bapak yang terlalu dingin dan keras pada anak-anaknya, dampak dari perlakuan orangtua bapak dulu. Yang pada akhirnya menurun pada anaknya.

Hal tersebut bisa menjadi koreksian untuk kita semua agar menjadi contoh yang baik bagi anak-anak kita. Sebab, perilaku anak kita merupakan jiplak.an perilaku kita. 

Semoga Bermanfaat!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun