Sore itu Dira berencana berkunjung ke rumah Fitri, sahabatnya. Dia mengenakan gamis biru berbunga, lalu jilbab segi empat berwarna biru muda yang dibentuk sederhana. Gadis berpipi tembem itu terlihat sangat cantik, meski tak secuil pun bedak menempel. Dia terbiasa, dan selalu membiasakan hidupnya agar sederhana.
Dira keluar dari kamar, melirik sekilas jam tangannya. Harusnya Adnan sudah pulang kuliah, tetapi tak ada tanda-tanda kepulangan si adik. Beberapa kali dia memanggil sang bibi juga tak ada sahutan. Dira pun pergi meninggalkan rumah kosong tanpa mengunci.
Dua jam berlalu, akhirnya Dira pulang. dia bernyanyi kecil di atas ojek yang ditumpangi. Senyum keceriaan yang tak pernah pudar. Bagaimana mungkin dia tak selalu bahagia? Dia punya segalanya, punya orang tua penyayang dan adik manis yang penurut. Dira memang tidak kuliah, tepatnya tidak mau. Baginya kuliah tidak menentukan kesuksesan masa depan, yang penting itu usaha. Namun, terkadang gadis itu juga menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana nanti dia hidup di masa depan jika pekerjaannya terus bermanja-manjaan.
Setibanya di depan rumah, ponsel Dira berdering. Terlihat nomor tak dikenal memanggil. Dia hanya menggeleng kemudian kembali menyimpan benda pipih berwarna merah muda itu. Namun, baru saja melangkah, lagi-lagi ponselnya berbunyi. Dengan terpaksa, gadis itu pun menerima panggilan.
[Halo, ini dengan anaknya Pak Sura?]
[Iya, saya Nadira, putri pertama Pak Sura] Dira mengernyitkan dahi.
[Kami dari pihak rumah sakit kota London mengabarkan jika Pak Sura dan istrinya meninggal dunia karena kecelakaan saat akan kembali ke Indonesia]
Napas Dira tercekat, matanya memanas. Berita yang baru didengar begitu mengejutkan. Tadi pagi mereka masih berbincang di telepon dan sekarang mereka tak akan bisa berbincang lagi? Seluruh tubuh Dira kaku dan jantungnya seolah tak berdetak. Pandangan pun buram, lalu menggelap. Semua gelap.
"Dira."
Dira tersentak saat Nurul menyentuh pundaknya. Semua bayangan masa lalu seketika menghilang, dia tersenyum hambar. Sudah lebih dari sebulan dia dan Adnan tinggal di Pesantren Nurul-Huda paska meninggalnya orang tua mereka. Pesantren itu merupakan milik Nurul dan Huda, ammah dan khaal mereka. Namun sejak meninggalnya Huda, hanya Nurul yang mengurus anak-anak santri. Itulah sebabnya pula dia meminta agar Dira dan Adnan tinggal bersamanya. Setidaknya dia bisa menghibur dan mengganti sosok seorang ibu bagi mereka.
"Dira rindu ayah dan ibu, ya?"