Kemarin, artikel saya yang berjudul "Mengintip Kerja Digital di Ruang Konvensional" terpilih sebagai Artikel Utama untuk Topik Pilihan "Ruang Kerja Bersama Gratis".
Sejumlah komentar menyebut artikel tersebut relevan dengan kondisi tenaga kerja digital yang "terpaksa" berlama-lama di tempat publik karena minimnya fasilitas co-working space yang nyaman.
Salah satu komentar dari Kompasianer Mas Badar juga menambahkan perspektif kerja digital dari sudut pandang perusahaan. Bagaimana suatu perusahaan mengatasi resistensi dari karyawan yang terbiasa dengan sistem kerja konvensional?
Pertanyaan yang menarik! Dalam perspektif kerja digital, saya sendiri cenderung berfokus masalah yang mungkin dialami pekerja digital. Misalnya, minimnya fasilitas umum dengan konsep co-working space. Namun, Mas Badar memiliki perspektif lain yang tidak ada salahnya untuk dikulik lebih dalam.
Seperti apa kondisinya, jika karyawan itu sendiri yang tidak bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi?
Pada kasus ini, saya harus memposisikan diri sebagai pemilik perusahaan yang berorientasi ke depan. Sebagai pengambil keputusan di perusahaan tersebut, saya harus melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mungkin menghambat pertumbuhan perusahaan. Saya mencoba dengan Analisis SWOT.
Strength (Kekuatan)
Digitalisasi yang makin moncer diterapkan ke semua lini kehidupan manusia adalah upaya mencapai efisiensi kerja. Ke depannya, proses industrialisasi dapat berjalan secara auto-pilot sehingga para pekerja dituntut untuk mengasah skill pada bidang digital yang membuka peluang baru.
Namun, kekuatan digital seringkali tidak dilihat sebagai inovasi bagi karyawan. Dalam benaknya, inovasi berarti serangkaian kerja rodi dengan upah alakadarnya. Sehingga, karyawan akan memandang AI (artificial intelligence) sebagai realitas yang mengancam posisinya. Dengan begitu, kemampuan praktikal di bidang digital tidak menjadi daya tarik karyawan yang resisten.