Ibu pemilik warung masuk ke biliknya dan keluar membawa tikar gulung. Aku yang tadinya merasa tidak enak, lantas menuruti tawarannya untuk beristirahat barang sejenak.
"Minum apa Neng? Teh atau kopi?"
Aku sudah duduk di dalam warungnya beralaskan tikar gulung dan hanya menatapnya. Pikiran burukku menanyakan, apakah ibu ini hendak memanfaatkan kelengahan seorang musafir yang sedang mengembara tanpa arah? Aku urung berpikir curiga, lidahku sudah bergerak mewakili apa yang sebenarnya sedang aku butuhkan.
"Kopi hitam ya, Bu. Tapi maaf Bu, nggak apa-apa ini saya minum di sini?"
"Iya nggak apa-apa Neng. Jangan lupa di-qadha puasanya, ya?"
Inilah awal mula kisahku mengenal Bu Lasmini. Dari sebuah kehangatan yang ia hadirkan waktu itu, berlanjut menjadi muara temu yang menampung kejenuhan kehidupanku di kota. Semenjak saat itu, aku menjadi sering mengunjungi Warung Kiara miliknya.
***
Setiap cerita bermula dari secangkir kopi yang aku nikmati dari bilik warungnya. Aku kini memahami apa yang membedakan Warung Kiara dengan warung kopi lainnya. Pemiliknya, Bu Lasmini merupakan sosok yang tak pelit bercerita. Kala itu aku masih canggung menceritakan kegemaran anehku "mengembara tanpa arah" pada orang yang baru dikenal. Namun, Bu Lasmini selalu siap mendengarkan celotehku.
Ternyata, itu bukan masalah baginya. Mengatasi suasana yang sunyi, Bu Lasmini lantas melemparkan kelakar tentang dirinya atau orang-orang yang pernah ditemuinya. Aku merasa larut dalam perbincangan yang hangat ini. Mendengarkan giliran beliau bercerita membuatku teringat akan orang tua di kampung halaman. Aku semakin menikmati atmosfer keakraban yang diciptakannya melalui ceritanya sehari-hari.
"Neng, ibu lihat kok kamu kayak lagi banyak pikiran?"
Pertanyaan itu sudah terulang tiga kali oleh Bu Lasmini. Dua pertanyaan sebelumnya sudah ku jawab dengan kelakar "bingung cari teman ngopi" atau "lagi bosen di kosan". Rupanya Bu Lasmini mampu menangkap kegelisahanku yang tanpa sadar menguap selama kita berbincang.