Siang itu cuaca terasa teduh. Semilir angin bertiup menuruni lereng perbukitan yang meliuk-liuk. Jalan yang penuh dengan kelok dipadati kendaraan berlalu-lalang. Aku melirik jam tangan sambil membersihkan embun yang tersisa. Sudah pukul dua. Berarti sudah dua jam sejak aku menerjang derasnya hujan dari kota hingga sampai di wisata Puncak Dua.
Sebetulnya tidak ada yang menjadi tujuan pasti dari kelana ini. Aku hanya sedang ingin menikmati mi kuah di warung langgananku. Warung Kiara namanya. Sekilas warung ini sama saja dengan warung yang berjejer sepanjang jalan menuju Puncak Dua. Selain menyediakan kopi dan mi instan, tersedia pula jajanan kemasan yang bisa juga ditemui di kota.
Tetapi, ada yang membuatnya terasa berbeda. Cerita ini bermula sekitar 3 tahun yang lalu, tepatnya di bulan suci Ramadan. Saat itu kebetulan aku sedang berhalangan untuk berpuasa dan merasa jemu setelah berkutat dengan tugas perkuliahan juga pekerjaan. Tanpa pikir panjang, aku segera menunggang sepeda motor mengikuti kehendak hati pergi ke tempat yang lebih sejuk. Sekadar menjernihkan pikiran, batinku.
Tak terasa perjalanan tanpa arah membawaku ke kawasan wisata yang saat itu amat lengang. Tidak ada warung yang buka, apalagi tempat makan. Aktivitas jalur alternatif ke arah puncak yang biasanya dipadati wisatawan mendadak sepi seolah kembali ke fungsi awalnya sebagai jalan perkebunan yang hanya disinggahi mobil-mobil pengangkut hasil bumi.
Kembaraku terhenti tepat di Warung Kiara. Padahal warung ini tidak menjanjikan apapun selain kehampaan karena orang-orang sedang berpuasa. Tetapi, dari sudut warung muncul seorang wanita paruh baya yang memberikan senyum ramah.
"Mau kemana Neng?"
Aku tergagap menjawab pertanyaannya. Aku juga tidak tahu hendak kemana.
"Neng lagi puasa?"
Aku menelan ludah. Meskipun tidak berpuasa, aku sama sekali tidak membawa bekal dari rumah. Tadinya sekadar memuaskan mata dengan pemandangan hijau sepanjang jalan. Ternyata, laju kembara membawaku bergulir ke warung ini. Aku menggelengkan kepala perlahan dengan senyum canggung. Tanpa diduga, respons pemilik warung justru membuatku makin salah tingkah.
"Mau minum? Sini masuk, istirahat dulu."