Pernahkah sebelumnya terbayang dalam benak kita, teknologi yang semakin mapan mendorong keinginan yang kuat untuk hidup yang lebih baik? Tidak hanya media komunikasi atau alat transportasi, kita seringkali membayangkan kehidupan yang naik ke jenjang berikutnya-menuju masyarakat madani. Tinggal di kota mandiri setidaknya pernah hinggap dalam impian kita. Bersentuhan dengan alat-alat yang menggunakan teknologi terbarukan. Memberikan serangkaian perintah pada mesin pintar yang menyelesaikan permintaan kita dalam sekejap mata.
Bukankah hal itu memberikan gambaran dari kehidupan yang ideal? Tentunya, selain harapan yang menguat agar mendapat tempat menjadi warga yang mapan, terdapat pula kekhawatiran. Seperti apa interaksi sosial antar tetangga-bila segala hal dalam hidup sudah mampu dipenuhi oleh kecerdasan buatan? Akankah tradisi yang selama ini melekat dalam tumbuh-kembang kita, nantinya akan jadi sesuatu yang tidak lagi dikenalkan pada generasi selanjutnya?
Kota Mandiri (smartcity) mengusung konsep integritas sejumlah komponen yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Ruang terbuka hijau, arena perkantoran, pusat perbelanjaan, taman hiburan, hingga pusat kebugaran dan hobi menjadi elemen prioritas yang harus tersedia. Tak jarang, kota mandiri juga membangun fasilitas pendidikan dan kesehatan guna menunjang kebutuhan warganya yang ingin mendapatkan kualitas pendidikan terbaik dan layanan kesehatan yang memadai.
Namun, tentu saja semua kemudahan dan kemewahan itu perlu merogoh kocek yang tidak sedikit. Setidaknya, menjamurnya hunian di bantaran sungai, di lahan bekas areal persawahan, bahkan di cerukan bekas danau yang mengering-membuat sebagian besar orang yang sudah mapan atau menuju kemapanan akan beralih pada kota mandiri sebagai destinasi tempat tinggal.
Bagaimana bisa ditolak? Pembangunan kota mandiri biasanya turut memperhatikan faktor geografis dan lokasi yang strategis. Sehingga penghuni bisa nyaman dan merasa aman untuk terbebas dari ancaman fisik, seperti banjir. Paling tidak, penghuni bisa menggunakan loteng atau ruangan di lantai 2 apabila banjir betul-betul tidak bisa dihindarkan. Sebelum mempersiapkan koper dan berkemas menuju kota impian, kita harus menanamkan mindset bahwa cost yang akan dikeluarkan tentunya tidak sama dengan tempat tinggal kita di bantaran sungai.
Biasanya pertimbangan soal "gaya hidup" akan jadi perdebatan yang panjang dan tidak akan selesai apabila pendapatan kita masih belum bisa disebut "mapan". Penting untuk mulai konsisten menabung dan berinvestasi pada produk digital, agar keinginan tinggal di kota mandiri tidak hanya angan-angan belaka. Menata mindset dari kaum mendang-mending menjadi kaum yang tercerahkan, membutuhkan upaya yang serius.
Kalau kamu masih tercengang mengetahui harga jual rumah 60m2 di lahan bekas sawah dibanderol paling sedikit 300juta-di luar biaya renovasi, maka jangan berhalusinasi mengharapkan kota mandiri sebagai hunian.
Mengingat tingginya permintaan hunian berbasis kota mandiri, seharusnya menjadi pemacu kita untuk bekerja keras demi mewujudkan impian tersebut.
Ada peribahasa yang mengatakan, bahwa "Rumah yang baik merupakan awal dari hidup yang lebih baik".
Baiknya kamu mulai lakukan perencanaan keuangan dari sekarang agar kamu tidak lagi menjadi kaum mendang-mending!
***
Share artikel ini jika dirasa bermanfaat :)
Yuk, berteman denganku disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H