Ketiga hal itulah yang menjadikan skripsi sebagai momok terakhir yang harus dihadapi mahasiswa sebelum menyandang gelar sarjana.
Mengingat sulitnya pengerjaan skripsi di tahap akhir pendidikan, beberapa mahasiswa mencari "jalan pintas" agar segera wisuda dengan memanfaatkan keberadaan joki skripsi.
Dengan adanya penghapusan skripsi sebagai kewajiban paripurna mahasiswa, pemerintah menyerahkan sepenuhnya pada pihak kampus untuk memberikan syarat kelulusan yang lebih sesuai dan relevan dengan kompetensi akademik mahasiswanya.
Dalam hal ini, sebagai mahasiswa jangan berpuas hati dulu seolah rintangan terberat semasa kuliah telah dicerabut. Kepala program studi dari tiap kampus akan merumuskan standar terbaik sehingga mahasiswa layak diberikan gelar "Sarjana".
Jadi, apakah dengan kebijakan baru ini, kelak mahasiswa akan mudah lulus?
Belum tentu.
Menyoal Standar Baru Kelulusan: Akankah Lebih Komprehensif dari Skripsi?
Berbicara lebih jauh mengenai standar kelulusan, sebagaimana skripsi yang terdiri atas beberapa bab yang disusun berdasarkan penelitian yang spesifik, sistematis, dan terukur.
Selama ini, skripsi telah menjadi syarat mendapat gelar sarjana, karena dalam pengerjaannya membutuhkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, pengambilan keputusan, dan memetakan solusi terbaik dari setiap hipotesa.
Apabila tantangan terakhir sebelum layak dinyatakan lulus ini dihapus, bagaimana mahasiswa menyatakan dirinya layak untuk diwisuda?
Pemerintah melalui Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perguruan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbud Ristek, Nizam, memaparkan hal sebagai berikut:
"Aturan itu dibuat agar mahasiswa semakin kreatif. Dalam hal ini, tugas akhir bisa lebih bervariasi guna meminimalisasi kendala yang selama ini dihadapi."