Belum lama ini kita mendengar akan ada kebijakan baru terkait konversi energi dari kompor gas menjadi kompor listrik. Kebijakan tersebut didasari oleh isu perubahan iklim yang memuat klausul pergantian sumber energi.Â
Selama ini kita masih menggunakan bahan bakar fosil yang dinilai "berdampak" pada percepatan climate change. Salah satu produk dari bahan bakar fosil adalah Gas LPG yang setiap hari kita gunakan untuk memasak.
Kebijakan konversi energi ini dapat kita lihat dari dua sisi. Pertama, dari sudut pandang lingkungan. Gagasan untuk beralih dari penggunaan sumber energi konvensional menuju energi berbahan dasar listrik ialah urgensi terhadap perubahan iklim.Â
Penggunaan bahan bakar fosil secara terus-menerus akan menghabiskan cadangan energi, sehingga dunia akan mengalami krisis bahan bakar.Â
Demi mengantisipasi krisis energi, para pakar lingkungan menyarankan untuk mengganti pemakaian bahan bakar fosil dengan bahan bakar listrik. Selain itu, bahan bakar listrik juga dinilai lebih ramah lingkungan karena menghasilkan lebih sedikit gas emisi dibandingkan bahan bakar fosil.Â
Sudut pandang lainnya, yaitu dari perspektif ekonomi. Konversi bahan bakar memerlukan dana yang tidak sedikit. Perspektif ekonomi ini dinilai sebagai sudut pandang yang realistis, mengingat tidak semua warga Indonesia berasal dari golongan mampu.Â
Seharusnya hal ini yang menjadi pertimbangan bagi para pembuat kebijakan, karena dengan adanya konversi energi maka banyak usaha kecil yang terpaksa gulung tikar akibat tidak mampu membeli bahan bakar.
Dihitung secara kalkulasi sumber daya yang tersisa, mungkin tidak akan lama lagi dunia mengalami krisis energi. Namun, upaya konversi yang dipaksakan sepihak tanpa mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat juga akan melahirkan bencana kemanusiaan yang lebih mengerikan.
Kita ambil contoh, kenaikan harga BBM Pertalite saja sudah menuai banyak polemik dari masyarakat. Kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan APBN dengan mencabut subsidi BBM Pertalite telah memicu sejumlah aksi protes dari masyarakat. Apalagi ketika masyarakat dipaksa untuk beradaptasi dengan kompor induksi yang selama ini masih asing dari penggunaan sehari-hari?
Masalah lain yang turut menambah polemik dalam konversi energi ini ialah pemadaman listrik yang terjadi secara kontinu. Apabila kebijakan konversi ini sudah diketuk palu, ada berapa toko yang tutup demi menunggu listrik kembali menyala?
Sebaiknya, sebelum membuat kebijakan yang akan memberikan dampak signifikan bagi pendapatan masyarakat, perlu dilakukan riset terhadap aspek penghidupan masyarakat. Selama ini masyarakat terbiasa menggunakan LPG karena mudah untuk mendapatkan bahan bakar isi ulang di warung dengan harga terjangkau. Hal ini yang seharusnya diperhatikan sebagai langkah untuk mengalihkan fokus masyarakat terhadap sumber bahan bakar terbarukan.Â
Upaya mengedukasi masyarakat agar mau beralih menggunakan bahan bakar listrik terkait concern perubahan iklim memanglah epik. Namun, jangan sampai kita lupa, bahwa fasilitas dan infrastruktur kita masih dalam kategori "negara berkembang".
Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H