Mohon tunggu...
Siti Khusnul Khotimah
Siti Khusnul Khotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis buku A Good Change: sebuah penerapan filosofi Kaizen bagi yang sedang berada di titik terendah. Menulis seputar Self-Improvement, Growth Mindset, dan Tips Penunjang Karir. Yuk berkawan di IG dan TT @sitikus.nl ✨ Salam Bertumbuh 🌻🔥

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Kemerdekaan

1 September 2022   11:52 Diperbarui: 3 September 2022   16:20 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali merdeka tetap merdeka!

Selama hayat masih dikandung badan

Itulah kutipan dari lagu berjudul Hari Merdeka yang diciptakan oleh Husein Mutahar pada tahun 1946. Tidak terasa lagu ini sudah menemani perjalanan negeri kita tercinta selama 76 tahun. Di tahun kemerdekaan yang ke-77 ini, sudah banyak dinamika politik, krisis ekonomi, ketimpangan sosial, bahkan gelombang pandemi yang dihadapi bersama.

Sehingga tema kemerdekaan yang diusung pada 17 Agustus tahun 2022 adalah "Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat". Setidaknya tema tersebut bukan hanya berperan sebagai slogan yang membakar semangat untuk mempertahankan kemerdekaan. Dua tahun lamanya disergap pandemi yang melumpuhkan segala jenis sektor industri dan perekonomian yang sempat ambruk, membuat Indonesia membutuhkan suntikan semangat baru dari tunas bangsa.

Kemerdekaan, kiranya di tahun yang ke-77 menjadi sebuah refleksi terhadap memori yang mengharu-biru kala itu. Bagaimana gesitnya golongan muda dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk mendeklarasikan kemerdekaan, masih tergambar jelas hingga hari ini.

Perayaan wajib setiap setahun sekali ini merupakan momentum yang dinantikan seluruh warga negara. Rasa haru, rasa syukur, hingga sukacita memenuhi benak setiap warga yang menuntun mereka mewujudkan kemerdekaan dengan caranya sendiri.

Melalui artikel ini, sekaligus menjawab "jejak kolonial yang masih terjaga sampai sekarang" adalah pada gambar di awal tulisan ini. Kemerdekaan adalah upaya merefleksikan segenap pengorbanan dan perjuangan para pahlawan bangsa, masih dapat kita saksikan tanpa perlu memutar waktu.

Gambar pada awal tulisan yang saya sematkan, bukan tanpa makna. Kemerdekaan Indonesia lekat sekali dengan peran tokoh pemuda, sama seperti yang terlihat pada gambar. Sekelompok pemuda membuat tanggul dari karet ban bekas dan menjulurkan kotak penuh harapan, sebagaimana dulu para founding fathers kita menunggu momen kekalahan Jepang dengan sabar dan penuh kekhawatiran.

Golongan muda saat itu menanti dengan cemas dan penuh perhitungan yang cermat dalam memanfaatkan kekosongan kekuasaan, karena Jepang sedang sibuk mengurus Perang Asia Pasifik. Golongan muda mencuri waktu dan menyelinap ke utara Karawang, menempatkan Bung Karno dan Bung Hatta pada pilihan "merdeka" atau "selamanya dijajah".

Pemuda di masa kini pun melakukan hal yang hampir serupa. Mereka berpakaian menyerupai para pejuang, hantu, ibu-ibu, atau bapak-bapak yang dapat dimaknai sebagai "kemerdekaan milik siapa saja". Para pemuda dengan percaya diri tampil ditemani pengeras suara dan tepuk tangan riuh sambil menunggu "partisipasi" dari setiap kendaraan yang lewat.

Keikutsertaan Bung Karno dan Bung Hatta diboyong ke Rengasdengklok bukan tanpa alasan. Sebagaimana setiap tahun selalu diperingati, setiap lapisan masyarakat ingin terlibat dalam perhelatan di hari kemerdekaan.

Menengok kembali hari-hari paska kemerdekaan, tentu kita merasa miris. Begitu banyak tragedi kemanusiaan yang terjadi. Pertumpahan darah dan perebutan pengaruh muncul dimana-mana. Di Ibukota maupun di desa terpencil. Kita bisa mengeja angka-angka tahun penuh tragedi, sebut saja '48, '65, '84, dan '98. Sebagaimana masih dapat kita rasakan penderitaannya begitu pandemi menghantam sektor perekonomian dan merombak tatanan sosial-budaya.

Tentunya kita masih ingat peristiwa Agresi Militer Belanda tahun 1947, dimana Belanda kembali ingin menduduki Indonesia. Saat itu usia kemerdekaan baru berjalan 2 tahun, dengan sigap dan penuh keikhlasan, para pahlawan kita mengusir Belanda dan koloninya keluar dari garis teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Saat itu, presiden pertama Bung Karno mengumpulkan suku demi suku yang ingin bergabung dengan kedaulatan Indonesia. Sehingga secara de facto dan de jure, Indonesia dapat mengukuhkan kekuasaannya atas tanah, air, dan udara pada hari proklamasi. Saat ini, pemuda yang sudah diberikan kemerdekaan untuk mengenyam pendidikan dan memperoleh pekerjaan yang layak, masih mempertahankan tradisi "biar sedikit lama-kelamaan menjadi bukit".

Di era paska globalisasi internet, setiap orang dapat dengan mudah mendapatkan suntikan dana untuk keperluan merayakan hari kemerdekaan. Pasalnya, setiap orang sudah memiliki gawai dan kuota internet yang dapat dibeli dengan harga murah, namun masih konsisten mengumpulkan recehan dari setiap orang yang lewat. 

Hal itu telah menjadi budaya. Setiap tahun kita amati, di jalanan desa yang sempit, pasti muncul satu atau dua kelompok orang yang memasang jaring dan membangun pos kecil dengan menempatkan sehelai kain putih bertuliskan "Sumbangan HUT RI" yang dibuat menggunakan pylox.  

Padahal zaman telah berganti, sebagai pemuda, kita tidak perlu menunggu Jepang membuatkan organisasi yang bertugas dalam menyiapkan segala keperluan untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Tahun demi tahun kemerdekaan telah kita lewati dengan darah dan penderitaan, seharusnya pemuda hari ini mampu mengobati luka dengan karya, bukan dengan membuat halang-rintang di jalan raya.

Indonesia telah melalui banyak dinamika, disintegrasi, bahkan pemekaran wilayah. Seharusnya pemuda hari ini dapat menyatukan perbedaan dengan kolaborasi nyata, bukan berlomba-lomba membuat "pos sumbangan" di tengah arus lalu lintas yang ramai. Kemerdekaan berkaitan dengan momentum yang menghadirkan refleksi, bahwa makna "merdeka" berarti lepas dari semua belenggu. Bangsa yang merdeka, seharusnya mampu berdiri di atas kaki sendiri. Sudah sepantasnya kita, sebagai generasi muda meninggalkan kebiasaan lama "mengemis" kebebasan pada kolonial.

Saatnya maju dengan karya nyata, bukan maju dengan meminta belas kasihan. Kita rayakan kemerdekaan sebagaimana Bung Karno merumuskan naskah proklamasi, begadang semalam suntuk demi mengibarkan sang merah-putih dengan keberanian dan tanpa khawatir diciduk oleh sekutu.

Kemerdekaan merefleksikan warna merah sebagai lambang keberanian dan putih sebagai simbol ketulusan, seharusnya budaya ini yang kita lestarikan. Generasi muda harus berani mengambil peran di era persaingan digital dengan tetap merawat moral bangsa, sehingga memiliki keinginan luhur yang tidak mudah goyah oleh tawaran bangsa asing.

Jadi, sudahkah kita merdeka?

***

Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun