Gen Z atau generasi z mengacu pada seluruh generasi yang lahir antara tahun 1996 hingga 2012. Dengan kata lain, Gen Z merupakan generasi penerus generasi milenial. Istilah gen z berasal dari kata “zoomer” sebab mereka dilahirkan dan dibesarkan dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, sehingga kesempatan mereka lebih dekat untuk mengakses teknologi dan internet.
Gen Z berkembang erat dengan teknologi sehingga terbiasa berdampingan di lingkup yang serba cepat dengan keberadaan smarthphone atau alat elektronik lainnya untuk memperoleh informasi. Selain itu, hal ini menyebabkan mereka harus belajar menggunakan teknologi dan berinterkasi di media sosial sejak usia dini, membuat nereka lebih rentan terhadap kecandungan teknologi. (Magano et al, 2020).
Kecemasan yang mendalam tersembunyi di balik layar terrang smartphone. Masalah kesehatan mental semakin sering muncul di kalangan generasi muda atau gen z yang tumbuh di era teknologi. Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebuah “bom waktu” yang membahayakan kesehatan mental mereka telah diciptakan oleh pola asuh yang tidak sesuai dan pengaruh media sosial yang kuat. Bagaimana kedua elemen ini saling terkair dan menghasilkan krisis kesehatan mental yang semakin parah.
Masayarakat Indonesia sering melihat Generasi Z senagai ‘sebelah mata” meskipun mereka memiliki karakteristik yang positif dan kemampuan intelektual yang lebih berkembang. Pendapat ini disebabakn oleh fakta bahwa Generasi Z dianggapmemiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami masalah mental saat menghadapi tantangan. (Salsabilla, 2023). Ini disebabkan oleh kecenderungan mereka untuk berperilaku tidak sesuai saat menghadapi masalah dan kurangnya resilensi. (Grelle et al, 2023).
Tanpa disadari oleh banyak orang tua, kesehatan mental anak sangat dipengaruhi oleh cara mereka dibesarkan. Masalah kesehtan mental seperti stress dan depresi terjadi pada anak-anak, terutama generasi z. Angka depresi pada anak-anak, terutama pada generasi z terus mrningkat. Studi bru menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Sebaliknya, anak-anak yang sering mengalami tekanan atau tindakan kasar cenderung mengalami gangue psikologis. Ini menujukkan bahwa interaksi orang tua dengan anak sangat mempengaruhi mental mereka.
Pola asuh positif berperan krusisl dalam membentuk kesehatan mental anak yang kuat. Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih saying dan dukungan cenderung memiliki keterampilan sosial-emosional yang baik, seperti kemampuan mengelola emosi, berempati, dan membangun hubungan sosial yang sehat. Dukungan orang tua juga berkontribusi pada peningkatan harga diri anak, membuat mereka merasa berharga dan percaya diri.
Selain itu, pola asuh yang mendorong kemandirian akan membekali Keputusan dan bertanggung jawab atas tindakannya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh positif juga lebih siap menghadapi tatangan hidup, karena mereka telah dilatih sejak dini untuk mengatasi stress dan memecahkan masalah.
Sebaliknya, pola asuh negative seperti mengabaikan, membandingkan dengan anak lain, atau memberikan hukuman fisk dapat merusak kepercayaan diri anak, menyebabkan kecemasan, dan bahkan memicu perilaku agresif.
Sikap yang terlalu permisif atau tidak konsisten dalam menerapkan aturan juga dapat membingungkan anak dan menghambat perkembangan kemandiriannya.
Terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi kesehatan mental anak. Faktor genetic, misalnya dapat meningkatkan resiko anak mengalami gangguan mental tertentu. Selain itu, lingkungan sosial di sekitar anak, seperti interkasi dengan teman sebaya, guru, dan keluarga, juga memilki peran penting dalam membentuk kesehatan mentalnya. Pengalaman traumatis, seperti kekerasan, perceraisan orang tua, atau bencana alam, dapat meninggalkan luka emosional yang dalam dan berdampak jangka Panjang pada kesejahterahan mental anak. Kombinasi daeri faktor-faktor ini akan membentuk kondisi yang kompleks dam unik bagi setiap anak.
Generasi Z, yang tumbuh di era digital, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap media sosisal. Platfrom-platfrom seperti Instagram, Tik Tok, dan Facebook telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Namun, di balik kemudahan akses dan konektivitas, media sosial juga membawa sejumlah dampak negatif terhadap kesehatan mental generasi muda ini.