Mohon tunggu...
Siti Khodijatus Sholihah
Siti Khodijatus Sholihah Mohon Tunggu... Guru - Guru pada SMPN di Kota Semarang

Pendidikan Agama Islam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

BISMILLAH

18 November 2023   04:17 Diperbarui: 19 November 2023   05:45 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah seorang ibu dengan tiga anak perempuan yang cantik, imut, sholihah, dan membanggakan menurut versiku. Kehidupan kami penuh dengan kasih sayang, perhatian, kehangatan, dan kebersamaan hingga hari itu datang, tepatnya terjadi di sekitar 12 tahun yang lalu. 

Pulang dari sekolah anak pertamaku yang bernama Naura pulang membawa brosur pendaftaran sekolah dan pesantren di Kabupaten Kudus. Bahagia, haru, dan sedih yang kurasa kala itu. Bahagia karena Allah telah membukakan hati anakku sehingga ia dengan permintaannya sendiri telah menyatakan kesediaannya untuk menuntut ilmu, haru karena ia memilih sendiri pesantren tahfidz dengan cita-cita ingin memakaikan kami mahkota kemuliaan dari perjuangannya menghafal dan mengamalkan Al-Qur’an yang aku sadar pasti tidak mudah jalan untuk mencapainya, dan sedih karena sebentar lagi aku akan berpisah dengannya, tidak bisa setiap hari melihat dan membersamai proses tumbuh dan kembangnya. Entahlah, susah sekali aku menggambarkan perasaanku kala itu.

Pikiran dan hatiku sulit sekali untuk diajak berkompromi. Pikiranku mengharapkan anak-anakku kelak akan bisa mendapatkan pendidikan umum dan agamanya secara maksimal keduanya, dan itu aku tahu persis akan lebih mudah direalisasikan jika mereka belajar di sekolah yang berbasis pesantren. Tetapi hatiku rasanya begitu sulit untuk menjauhkan mereka dari pandangan dan jangkauanku. Inginku, ketika mereka belajar di pesantren, pilihan kota yang dipilih adalah Kota Semarang atau Demak daerah Mranggen, yang tidak begitu jauh dengan tempat tinggal kami, sehingga kami -aku dan abahnya- bisa setiap saat berkunjung ketika ada satu dan lain hal. Berhari-hari akal dan perasaanku pun bergelut, hingga akhirnya aku memilih berdamai dengan hatiku, kumenangkan akalku bahwa aku dan anakku akan belajar bersama-sama untuk saling ikhlas. Aku mengikhlaskannya untuk belajar menjalani kehidupan bermasyarakat di pesantrennya. Begitu pula anakku Naura, ia pun belajar ikhlas untuk menjalani kehidupan di pesantren yang jauh dari keluarga yang sangat disayanginya.

Akhirnya dengan berbekal bismillah ia kami antar ke sebuah desa di lereng Gunung Muria Kudus Jawa Tengah untuk melakukan pendaftaran di sana. Berpedoman dengan Google Maps kami melakukan perjalanan ke sana. Karena ini kali pertama bahkan Google Maps pun memberikan petunjuk jalan kepada kami dengan melewati jalanan sepi, jalanan kecil yang di kanan kirinya terbentang sawah tanpa penghuni. Dalam hati pun aku bertanya-tanya apakah jalan ini sudah benar? 

Alhamdulillah. Allah Maha Baik. Kami bertiga –aku, suamiku, dan anak pertamaku– akhirnya sampai juga di madrasah dan pesantren tahfidz yang waktu itu masih belum jadi sepenuhnya. Kami sampai di lokasi sekitar pukul 14.00 dan kami pun langsung menuju ke ruang pendaftaran.

“Assalamu’alaikum”, ucapku ketika sudah sampai di depan pintu ruangan.

“Wa’alaikumussalam”, jawab dua orang yang waktu itu ada di dalamnya.

Satu yang membuat saya senang bukan kepalang, ternyata salah seorang ustadzah yang waktu itu menjadi petugas pendaftaran adalah salah seorang temanku ketika kuliah di IAIN Walisongo Semarang, ustadzah Tutik namanya. Segera aku menghampirinya, dan mengatakan maksud kedatanganku, yaitu untuk mendaftarkan anak pertamaku.

“Masyaallah, Bu. Alhamdulillah, saged kepanggih Panjenengan dhateng mriki. Nyuwun sewu, kepareng matur, kula badhe nderek ndaftaraken lare, tapi nyuwun sewu, badhe ngrepoti rumiyin, ndherek nindakake shalat dzuhur, amargi kala wau dhateng margi mboten manggihi musholla utawi masjid.”, kataku setelah menyapa dan memeluknya beberapa saat.

“Monggo, Bu. Nderek kula”, ujarnya setelah pelukan kami terlepas.

Beliau pun membawa kami di ruang sebelah dengan memberikan 2 potong mukena lajuran, dan 3 sajadah kepada kami. Ya, suamiku yang sudah selesai memarkir kendaraannya pun akhirnya menyusul kami, dan mengimami kami untuk melaksanakan shalat dzuhur berjamaah. Ada pengalaman baru bagi anakku saat itu, ini kali pertama ia shalat dengan memakai mukena yang modelnya lajuran, bukan atasan dan bawahan seperti yang biasa ia pakai dalam keseharian. Ya, kultur budaya di kabupaten Kudus, adalah menggunakan mukena model seperti ini, langsung seperti gamis yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun