Kontrakan berpetak dua ini tidak tampak ramai, terletak pada pojokan kontrakan lain yang terlihat sedikit lebih mewah dan luas. Bayu adalah mahasisiwa smester 3 yang merupakan penghuni kontrakan di pojokan itu, bersama temannya Fadil. Setelah kelulusan sekolah mereka berdua memilih mengadu nasib di Jakarta untuk bekerja dan kuliah.
Jalanan terasa lebih panas dari biasanya, Bayu yang sedari tadi jalan tertunduk seolah tidak merasakan panasnya sinar matahari siang ini. Dia terus berjalan tanpa menghiraukan arah yang dia tuju, entah apa yang difikirkannya.
Sesampai dirumah Bayu mulai merasakan lelah yg luar biasa setelah berjalan kaki seharian dari jakarta samapai kontrakannya. Dengan kemeja dan rambut yang berantakan, Bayu terlihat sangat putus asa. Waktu sudah menunjukan tepat pukul 17.20, tapi Bayu memilih untuk beristirahat terlebih dahulu dibandingkan membersihkan badannya yang sudah sangat terlihat kumal.
“Bay,Bay bangun lu, tadi kekampus ga? Parah lu gw telponin gadi angkat-angkat!” Fadil telus berbicara tanpa menghiraukan keadaan Bayu yang masih setengah sadar. Sempat hening sejenak dan hanya terdengar suara tegukan air ditenggorokan Fadil. “jam berapa Dil?”. “jam 10 Bay” Fadil mengulang kembali pertanyaannya yang belum dijawab. “gw ga kekampus, gw tidur pules banget ga tau ada telpon dari lu. Udah gw mau solat dulu udah kelewat nih”. Bayu hanya menanggapi seadanya dengan suaranya khas yang dimilikinya (berat).
Waktu sudah memasuki pukul 04.31 “Dil bangun udah mau subuh. Woy jangan molor mulu!.” Bayu membangunkan Fadil seolah membalas kejadian malam tadi, tapi penuh dengan ledekan. “Ah rese lu.” Tapi pada akhirnya mereka tetap melaksanakan sholat subuh bersama di masjid belakang kontrakannya.
Setelah shalat subuh Bayu terlihat lebih kusyu bedoa dan lebih lama dibandingkan Fadil. Tidak ada yang tahu apa yang dia minta dan dia pasrahkan, hanya Alloh yang maha tahu yang mengetahui.
“Dil kepeutusan gw udah bulet, gw mau mutusin kuliah, dan gw mau ngerantau. Tapi lu jangan bilang nenek gw di kampung ya atas keputusan gw ini.”
“Gila lu enak aja. Emang lu mau ngerantau kemana?”
“Udah pokonya gw mau ngerantau, lu jangan bilang-bilang nenek gw ok. Yaelah muka lu jangan nekuk sedih gitu, tar juga gw maen-maen kesini.” Jawab Bayu penuh ledek.
Pagi ini mereka berjalan keluar bersama tapi dengan tujuan yang berbeda, Fadil hanya mengantarkan Bayu sampai terminal lebak bulus, dengan rasa berat hati Fadilpun berlalu menuju tempat dimana ia bekerja.
Bayu terus berjalan tak tentu arah, dia hanya ingin pergi terlebih dahulu ketempat dimana dia tidak akan ada yang mengenali. Dua jam sudah dia berjalan, perbekalan air telihat masih banyak tapi bagaimana pula mengatasi perutnya yang mulai terasa perih dan melilit, sehingga terus mengganggku sistemkerja tubuh. Bayu tidak mau ambil pusing, dia sudah menganggap ini hal wajar, perjalananpun terus dilanjutkan.
****
Bayu merasakan kepalanya begitu berat dan penglihatan yang masih sedikit kabur. “lu udah sadar? Lu gapapa?.” Bayu mendengar jelas suara disampingnya itu tapi dia belum pulih total dari pingsannya. “Ia gw gapapa, ini gw dimana?”. “Lu di bascame kita, lu tadi kesrempet mobil terus pingsan. Gw pikir lu cma syok aja jadi kita bawa kesini, lu udah gaapa-apakan? Ga ada luka ko.” Hening seketika setelah penglihatan dia pulih. Bayu merasa kikuk, waswas dan bingung. Dia berada ditengah orang-orang yang penuh dengan penilaian buruk, anarkislah, brandalah, sadislah dan sebagainya. Tak banyak yang dia ucapkan setelah itu, hanya ucapan terimakasih saja dan hening sejenak.
Dua penuda dengan pakaian cumapag-camping, dekil, bau, rambut berwarna tak karuan dengan seksama memperhatikan keadaan Bayu yang sedikit aneh. 2 menit berlalu masuk seorang laki-laki yang tampilannya sangat berbeda dengan yang lainnya, celana cingkrang berwarna krem, rambut terpotong rapih, sedikit berjenggot dan berkacamata. Dia membawakan satu gelas air hangat untuk memulihkan keadaan Bayu. Taklama kedua pemuda itu berpamitan dan menghilang seketika dibalik tirai yang memisahkan antara kamar dengan ruang lainnya.
Laki-laki itu sedikit berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Tapi Bayu belum juga terfokus kepada laki-laki itu, dia terus memperhatikan ruangan dimana tempat ia berbaring, ruangan yang hanya 2*3meter tetapi begitu sangat termaksimalkan. Dengan dinding-dinding yang terbuat dari triplek dipenuhi lukisan yang khas seperti di tembok-tembok jalanan beserta beberapa kaligrafi bertulisan arab, tapi ada yang berbeda dengan dinding yang berada di samping pintu masuk. Diatas sana menggantung rak dari kayu yang dibuat sendiri dengan panjang kira-kira 1,5 meter, disana berderet buku-buku dengan lengkap dan rapihnya, Al-Qur’an beserta peralatan solat.
Berawal dari basa-basi, obrolan ringan dan berakhir dengan diskusi mengenai kegiatannya saat ini. Disini dia biasa di panggil bang Zaki, orang yang disegani anak-anak jalanan sejakarta timur, orang yang membina dan mengarahkan anak-anak muda yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat ini untuk tetap mempunyai idiologi dan tetap dapat berproduktifitas dilingkungannya. Bayu hanya ter “oh” oleh cerita dari sosok bang Zaki orang yang baru dia kenal ini, orang yang luar biasa, orang yang menjamah sesuatu yang tidak dijamah oleh orang banyak lainnya.
Dari cerita Zaki, Bayu belajar banyak mengenai apa itu syukur, ikhlas dan kuat. Dari cerita Zakipun sosok Bayu kembali bangkit dan ingin segera berkonstribusi dalam setiap poros kehidupan.
Setelah Zaki mengetahui sosok Bayu yang memang lebih terpelajar dibandingkan pemuda-pumuda yang sedang dia bina dan mengetaui permasalahan Bayu yang saat ini sedang putus asa karena keadaan ekonomi, maka Zakipun langsung mengambil langkah dimana Bayu akan diberdayakan untuk ikut serta dalam membina anak-anak jalanan. Keputusan Zakipun disambut baik oleh Bayu.
Bayu merasa bersalah pernah mengira bahwa semua anak punk, dan anak jalanan itu buruk. Fakta dihadapannya saat ini sangat berlawanan, tidak semua anak punk dan anak jalanan itu buruk, mereka mau belajar, mau ngaji, dan mau diarahkan keyang lebih baik.
Dari minggu-keminggu, bulan-kebulan Bayu semakin mantap dengan keputusan yang diambilnya. Untuk menemani mereka ana-anak jalanan menemui titik terang. Tidak ada kata lain selain syukur alhamdulillah kepada sang maha kuasa atas kesempatan waktu untuk dapat terus bermanfaat bagi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H