Bahkan warga Sidney, Australia menuntut pemilihan ulang karena tidak bisa menggunakan hak pilih mereka dipicu penutupan TPS yang cepat dengan alasan pihak penyelenggara kehabisan waktu penyewaan gedung yang digunakan. Hal ini bisa terjadi karena pada tahun 2014 pemilihan legislatif dilakukan secara terpisah yaitu 9 April 2014, sedang pemilihan presiden 3 bulan setelahnya yaitu 9 juli 2014.
Terkait hal ini, karena dicanangkannya aturan baru pemerintah dengan digabungkannya UU Pileg, UU Pilpres,dan UU Penyelenggaraan Pemilu menjadi hanya UU Pemilu.
Tak heran pemilihan tahun ini rumpuh, semeraut karena faktor keserentakan semua tingkat kandidat pencalon yang dipilih. Seperti yang disampaikan Maman Imanulhaq Relawan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf.Republika Jum'at,(19/4) "kita sudah meminta KPU dan Bawaslu untuk melihat kembali beberapa kekisruhan terutama di Malaysia, Sidney dan Hongkong," kata Maman, Jakarta Senin(15/4). Hal ini dilakukan dengan harapan agar rakyat yang berada dilokasi tersebut mendapatkan haknya untuk memilih dan dapat terfasilitasi dengan baik mengingat waktu yang mereka punya sangat kompleks.
Disisi lain, kegemparan terjadi saat ini baik dilingkungan tempat tinggal rakyat maupun didunia maya dipicu adanya peretasan pada website KPU sebulan sebelum pemilu berlangsung. Hal ini yang memancing keresahan warga akan bagaimana nasib negara jika hal semacam peretasan tidak bisa negara atasi. Para peretas didesas-desus dari China dan Rusia, tetapi tentu ini belum tentu benar, hanya isu yang belum pasti ada pembuktian.
Dibalik hal ini pihak KPU memastikan akan menangani semua bentuk peretasan yakni dengan berkoordinasi dengan pihak intelegen lain negara, seperti Polri, Badan Sandi, dan Siber Negara.Kamis (14/3/19) Arief Budiman Kepala KPU menuturkan bahwa semua masalah yang datang mereka upayakan tidak akan mampu menggangu proses jalannya pemilu mendatang "Sampai hari ini bisa kami selesaikan semua, ada yang sekedar di-facing saja, ada yang mencoba sampai mau masuk ke sistem induk kami, tapi semua sudah kami atasi." Â tutur Arief.
Pihak KPUtelah mengantisipasi kejadian yang terus berlangsung setiap adanya aktivitas demokrasi ini, mereka telah merumuskan aturan atau cara baru dengan pengaksesan data hasil suara tidak dengan cara online namun offline. Sistem ini oleh KPU diberi nama "Situng" Â (Sistem Informasi Perhitungan Suara).
Kemudian pemicu  utama keresahan warga yaitu Kabar yang tersebar sebulan yang lalu yakni salah satu pengguna media sosial Facebook, Aras Myta menyebarkan sebuah video yang mengklaim perhitungan suara KPU dalam pemilu 2019 hanya dilakukan dengan system IT semata. Padahal dari KPU menyatakan hal ini sama sekali tidak benar.
Prosedur perhitungan yang diambil KPU adalah rekapitulasi manual dan berjenjang, dalam maksud hampir semua proses yang dilakukan  oleh KPU dilakukan secara manual, tidak dilakukan dengan cara elektronik dari pemilu ke pemilu. IT (Situng) memang digunakan tetapi hanya untuk menginput data yang telah dihitung cepat dari proses rekapitulasi.
Artinya, Situng untuk memaparkan hasil data pemilu yang telah terkumpul, data dari tingkat kecamatan, kebupaten/kota, provinsi, baru kemudian nasional,. Namun, agar lebih aman server dalam keadaan offline.
Sekalipun begitu, komisioner KPU Viryan Aziz di Hotel Saripan Pasific, jl Mh Thamrin, Jakrta pusat, Rabu (27/32019) menuturkan bahwa "Perhitungan itu bukanlah yang menjadi dasar, yang menjadi dasar adalah rekapitulasi berjenjang dari kantor kecamatan, direkap ke kantor KPU kabupaten/kota, direngkap lagi dikantor KPU provinsi, direkap lagi di KPU RI,"tuturnya.
Jadi pengumpulan data suara pemilu 2019  telah diancang-ancang prosesnya dan telah diantisipasi ketat akan adanya  segala kendala yang mengangguan kelancaran proses penetuan para kandidat  berdatangan dan telah disiapkan matang dan diusahakan dapat berjalan sebaik mungkin oleh KPU.