Aku sudah yatim piatu sejak kecil, sama seperti Bapakku. Bapak dan Mamak pergi merantau ke luar Provinsi. Sempat beberapa kali aku dikiriminya uang. Disuruhnya aku belajar Ngaji dan sekolah yang tekun, untuk bekal dunia akhirat. Setelah itu, mereka wafat terkena gempa.
Saat kutanya kenapa Kakek-Nenek biarkan anak-mantu terkubur disana. Jawabnya, menyimpan uang untukku sekolah lebih penting ketimbang mendatangkan jenazah. Yang hidup di dunia lebih membutuhkan uang ketimbang mereka yang tiada.
"Sudah sukses kau sekarang, Rik. Aku ikut senang". Kataku membuka percakapan. Temanku terbahak dari balik cadarnya yang berwarna hitam. Dia lalu menceritakan kisah suksesnya. Yang awalnya menang lomba pidato Maulid di kampung, jadi Ustazah di Ibu Kota Provinsi. Tak rugi Maknya menyeret-nyeretnya ke Cik Limah, meski saban Maghrib tangisnya terdengar menggema, ujung-ujungnya, khatam juga dia.
"Walaupun jaman berkembang pesat, jumlah Guru Ngaji rupanya tak meningkat. Sepi peminat, Har. Anak-anak yang menjadi muridku mengaji saja, kalau ditanya cita-citanya apa, tak ada yang menjawab jadi Guru Ngaji. Makanya aku sering pamer harta. Bukan maksudku Riya' tapi untuk menunjukkan, profesi Guru Ngaji juga menjanjikan".
"Oh ya?" Tanyaku bersungguh-sungguh. Insting bisnisku menyala.
Temanku menganguk pasti.
"Ustazah berbeda mungkin dengan Guru Ngaji tingkat Desa. Macam Cik Limah itu kan dibayar sekadarnya. Tak ada tarif. Orang tua jaman dulu juga melihat Guru Ngaji itu banyak sederhananya. Jadi tak sampailah mereka kira itu bisa menghasilkan". Ku timpali anggukannya sambil menggerogoti tulang sapi.
"Cik Limah itu meski tak kelihatan seperti kaya, tapi uangnya banyak. Coba kau pikir, para orang tua murid selain secara berkala membawakannya beras, minyak, tepung, kadang masakan yang sudah jadi, juga membawa uang. Uang itu tak dihabiskan semua, sebab makanan pokok sudah tersedia, buah, bahan masakan dan dapur, sudah siap sedia. Kalau dia gelar hajatan, tak payah bayar orang atau ketuk pintu untuk bantu. Selain tetangga datang, rebutan para mantan anak didik dan yang masih menjadi anak muridnya turut datang atau ngirim kiriman, ingin berbakti".
Aku manggut-manggut, pintar juga temanku ini menganalisis keuangan orang. Yang sudah Almarhumah pula. Aku terkikik dalam hati.
"Kau sih, berhenti Ngaji. Seharusnya kau tahan saja pecut bambu Cik Limah seperti aku dan yang lain".
"Kalau ku tahan, aku pasti akan menjerit-jerit sepertimu saban Maghrib. Tak maulah aku jadi duo sumbang denganmu." Kami tertawa geli.
Memang sempat aku belajar mengaji di Cik Limah, satu-satunya Guru Ngaji untuk anak-anak kecil di kampung ini. Setiap aku salah melafalkan bunyi sin dan syin, dal dan dzal, dho' dan tho', batang bambu yang sudah dibelahnya jadi empat bagian itu disabetkannya ke pahaku. Aku tak tahan. Lari aku pulang.
"Kau benar hanya bisa a ba ta tsa' saja?"
Aku mengangguk jengah.
"Kakek-Nenek tak ajarkan?"
"Mereka tak percaya pada kemampuannya. Ngaji kan bukan perkara mudah. Harus sama ahlinya, ya Cik Limah. Kalau tidak, ya sudah, tak ada yang ajarkan". Aku mengulang kenangan, mengutip jawaban mereka dahulu.
"Jadi..kau..tak pernah sembahyang?" aku menggeleng!
"Aku sembahyang kok!" Temanku menarik nafas lega.
"Tapi aku tak pernah membaca apa-apa".
Cras!
Uhuk!
"Hati-hati dong, Bu Ustazah" kataku tertawa menyerahkan tisu. Uhuk uhuk uhuk!
Temanku makin terbatuk-batuk. Es cendol jatuh ke bawah, keluar dari cadarnya. Aku lempar pandangan keluar, tak mau membuatnya malu atau kikuk. Hujan masih deras. Tatapku.
"Benar yang kau cakap itu?" Warna cadarnya sudah berganti. Hijau Tua.
Aku mengangguk. Memang benar. Aku cuma ikuti gerakannya saja.
"Kau mengaji padaku! Akan kuajari kau setidaknya cara Sholat! Tak usah bayar! Kau suka gratis, ku berikan gratisan macam dua mangkok bakso dan es cendol ini! Nih!"
Aku terkekeh saja menerima kartu namanya. Apa aku sudah setua ini? Melihat kartu nama Ustazah saja aku jadi geli sendiri.
"Lidahku sudah kelu. Kecil saja tak bisa apalagi sudah dewasa". Aku menggeleng tapi tetap ku simpan kartu namanya.
"Muallaf saja masih bisa belajar. Kau juga bisa".
***
Rika melambai masuk mobilnya, buru-buru pulang. Aku melenggang ke pemakaman, bersiul-siul riang. Cara klasik memutus obrolan. Pinjami saja uang. Lepas juga aku dari rentetan ceramahnya yang panjang. Sebelum berpisah, dia sempat menanyakan apakah aku tak takut Kakek-Nenek marah karena menjual barang warisan satu-satunya. Ustazah yang aneh. Apa dia sungguh percaya yang sudah mati bisa bangkit menanyakan hal duniawi? Sibuklah mereka dengan urusan kuburnya sendiri.
Aku hanya menggeleng yakin haqqulyakin, "mereka takkan marah" jawabku sambil senyum. Yang hidup di dunia lebih membutuhkan uang ketimbang mereka yang tiada. Ku teruskan jawaban dalam hati sambil melambai ke arahnya.
"Nah, Kek, Nek. Aku sudah tiba". Segera ku cabuti rumput-rumput berembun yang tumbuh liar di makam mereka sehabis kena hujan. Rumput-rumput segar ini apa bisa untuk sapi? Ah, nanti coba ku pelajari, siapa tahu bisa jadi bisnis baru.
"Tadi aku ketemu Rika. Terbuka pikiranku setelah bertemu dengannya. Kalaulah, Kakek dan Nenek mau memaksaku seperti orang tua Rika, sudah barang tentu aku pandai mengaji. Tak perlu jengah tiap kali ditanya soal mengaji. Aku masih lajang begini karena pastilah tiap orang tua akan bertanya kemampuan mengajiku". Cacing-cacing terlihat menyumbul, ku tempatkan ke plastik kecil. Lumayan, bisa untuk ayam.
"Bukannya membiarkan aku dan keputusanku begitu saja. Saat itu aku masih kecil dan labil. Mana aku tahu yang terbaik. Katanya yang tua sudah makan asam-garam. Jangan beri nasihat, nasihat terus. Harusnya ngotot saja. Toh, itu takkan sebanding dengan yang terjadi di masa depan. Paling tidak aku tak malu, ada modal yang tak usang dimakan jaman, dan akan terus dibutuhkan. A-ga-ma". Aku clingak-clinguk ingin duduk, tapi tanah semua basah.
Ah, ngomong apa aku ini. Kakek-Nenek sudah memberiku pendidikan sampai Sarjana, juga beberapa ketrampilan hidup. Aku bisa menjadi pedagang besar karena didikan dunia mereka. Bertanam bahan dapur, berternak ayam kampung. Sampai untuk mengembangkan usaha pun, aku menjual rumah beserta kebun mereka ke tetangga yang mau melebarkan rumahnya. Bukannya berterima kasih, sekalinya berkunjung malah ku isi gerutuan.
Rumput-rumput yang tercerabut ku kumpulkan jadi satu ke dalam kresek. Ku pandangi kubur mereka yang bersebelahan. Tak terlalu bersih. Ah biarlah. Dicabut juga nanti tumbuh lagi. Kutabur kembang dan menyiram air dari hujung ke hujung nisan.
Ini bukan Kamis atau Minggu. Tak ramai penziarah datang. Aku menebar pandang ke pemakaman. Kampung ini kecil. Namun, berhubung Kota Provinsi sudah padat, banyak perantauan yang mulai datang untuk bermukim. Ramai ku lihat berdiri rumah-rumah baru di lahan-lahan yang dulunya kosong.
"aku akan mendirikan Pesantren disini". Kataku mantap, lalu berdiri menepuk-nepuk tangan, mengusir debu pekuburuan. Ku pandangi langit yang biru bersih. Komat-kamit mulutku berusaha mengingat sesuatu untuk ku katakan ke Kakek-Nenek.
"Tuh kan, Kek Nek. Aku bahkan tak bisa bacakan doa untuk kalian".
Ku rapatkan gerbang pekuburan, ku tinggalkan Kakek-Nenek tanpa doa-doa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H