Mohon tunggu...
Siti Fatimah
Siti Fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - salambusiti.com

A platforn for me to write things that I didn't write on my blog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengaji

27 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 7 Maret 2021   19:22 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah yatim piatu sejak kecil, sama seperti Bapakku. Bapak dan Mamak pergi merantau ke luar Provinsi. Sempat beberapa kali aku dikiriminya uang. Disuruhnya aku belajar Ngaji dan sekolah yang tekun, untuk bekal dunia akhirat. Setelah itu, mereka wafat terkena gempa.

Saat kutanya kenapa Kakek-Nenek biarkan anak-mantu terkubur disana. Jawabnya, menyimpan uang untukku sekolah lebih penting ketimbang mendatangkan jenazah. Yang hidup di dunia lebih membutuhkan uang ketimbang mereka yang tiada.

"Sudah sukses kau sekarang, Rik. Aku ikut senang". Kataku membuka percakapan. Temanku terbahak dari balik cadarnya yang berwarna hitam. Dia lalu menceritakan kisah suksesnya. Yang awalnya menang lomba pidato Maulid di kampung, jadi Ustazah di Ibu Kota Provinsi. Tak rugi Maknya menyeret-nyeretnya ke Cik Limah, meski saban Maghrib tangisnya terdengar menggema, ujung-ujungnya, khatam juga dia.

"Walaupun jaman berkembang pesat, jumlah Guru Ngaji rupanya tak meningkat. Sepi peminat, Har. Anak-anak yang menjadi muridku mengaji saja, kalau ditanya cita-citanya apa, tak ada yang menjawab jadi Guru Ngaji. Makanya aku sering pamer harta. Bukan maksudku Riya' tapi untuk menunjukkan, profesi Guru Ngaji juga menjanjikan".

"Oh ya?" Tanyaku bersungguh-sungguh. Insting bisnisku menyala.
Temanku menganguk pasti.

"Ustazah berbeda mungkin dengan Guru Ngaji tingkat Desa. Macam Cik Limah itu kan dibayar sekadarnya. Tak ada tarif. Orang tua jaman dulu juga melihat Guru Ngaji itu banyak sederhananya. Jadi tak sampailah mereka kira itu bisa menghasilkan". Ku timpali anggukannya sambil menggerogoti tulang sapi.

"Cik Limah itu meski tak kelihatan seperti kaya, tapi uangnya banyak. Coba kau pikir, para orang tua murid selain secara berkala membawakannya beras, minyak, tepung, kadang masakan yang sudah jadi, juga membawa uang. Uang itu tak dihabiskan semua, sebab makanan pokok sudah tersedia, buah, bahan masakan dan dapur, sudah siap sedia. Kalau dia gelar hajatan, tak payah bayar orang atau ketuk pintu untuk bantu. Selain tetangga datang, rebutan para mantan anak didik dan yang masih menjadi anak muridnya turut datang atau ngirim kiriman, ingin berbakti".

Aku manggut-manggut, pintar juga temanku ini menganalisis keuangan orang. Yang sudah Almarhumah pula. Aku terkikik dalam hati.

"Kau sih, berhenti Ngaji. Seharusnya kau tahan saja pecut bambu Cik Limah seperti aku dan yang lain".

"Kalau ku tahan, aku pasti akan menjerit-jerit sepertimu saban Maghrib. Tak maulah aku jadi duo sumbang denganmu." Kami tertawa geli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun