Pers merupakan sebuah media cetak berbentuk surat kabar ataupun majalah. Jauh sebelum kemerdekaan, pers sudah hadir di Indonesia. Pada masa penjajahan, pers digunakan oleh para pejuang kemerdekaan sebagai salah satu alat perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Tak hanya oleh kaum laki-laki, pers juga digunakan oleh kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Melalui pers, kaum perempuan menumpahkan ide dan pemikirannya mengenai permasalahan yang menimpa mereka seperti masalah pendidikan dan poligami. Hadirnya pers bagaikan sebuah jendela bagi kaum perempuan untuk melihat dunia luar dan keadaan yang sesungguhnya terjadi. Sejatinya, pada masa itu kaum perempuan terbelenggu oleh budaya patriarki yang menggerogoti kehidupan sehari-hari.
Dalam berbagai surat kabar dan majalah, Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor pergerakan dan perjuangan kaum perempuan Indonesia menjadi salah satu topik yang banyak dibahas. Ide dan pemikiran Kartini menjadi inspirasi dari kaum perempuan pada masa itu untuk bisa menyetarakan harkat dan martabatnya dengan kaum laki-laki. Kesetaraan itu dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan. Pers digunakan sebagai media untuk meningkatkan kesadaran kaum perempuan akan pentingnya pendidikan sebagai salah satu wujud kesetaraan dengan kaum laki-laki. Melalui pendidikan, kaum perempuan dapat meningkatkan harkat dan martabatnya yang selama ini tertindas.
Kehidupan yang diatur di bawah kendali laki-laki mempersulit perkembangan kaum perempuan untuk dapat merasakan kebebasannya. Adanya kesenjangan yang menimpa kaum perempuan pada masa itu memunculkan rasa kepedulian dari para intelektual bumiputera, salah satunya Tirto Adhi Soerjo. Pendiri organisasi Sarekat Priyayi ini kemudian mendirikan surat kabar Poetri Hindia di Bandung pada tahun 1908 yang diterbitkan 2 kali sebulan. Hadirnya surat kabar Poetri Hindia ini menjadi pelopor dari munculnya pers perempuan yang menjadi sarana untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Selain itu, berdiri sebuah surat kabar bernama Wanito Sworo di Pacitan pada tahun 1913. Surat kabar ini didirikan oleh salah satu penulis surat kabar Poetri Hindia, yaitu Siti Soendari. Kemudian, di Batavia pada tahun 1914 terbit sebuah surat kabar bernama Poetri Mardika yang berasal dari sebuah organisasi perempuan yang bernama sama dengan surat kabar tersebut. Mengenai Poetri Mardika, surat kabar ini merupakan salah satu surat kabar yang dikhususkan untuk kaum perempuan. Surat kabar dan majalah perempuan lain diantaranya adalah Beta (1933), Boroe Tapanoeli (1940), Keoetamaan Isteri (1937-1941), Menara Poetri (1937), Parsaoelian Ni Soripada (1927), Perempoean Bergerak (1919-1920), dan Soera Iboe (1932).
Pers sebagai salah satu media yang digunakan dalam bidang pendidikan rupanya dapat melahirkan perkumpulan-perkumpulan perempuan dari kesadaran akan kehidupan yang tertindas. Kautamaan Istri di Bandung (1904), Poetri Mardika di Batavia (1912), Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), dan Aisyiyah (1917) merupakan sebagian perkumpulan dan sekolah perempuan dari sekian banyak yang ada pada masa itu. Banyaknya perkumpulan-perkumpulan perempuan yang muncul di kemudian hari menjadi tanda dari berkembangnya pemikiran kaum perempuan pada masa itu.
Peranan pers dinilai sangat berarti bagi kemajuan kaum perempuan dalam meningkatkan harkat dan martabat juga menyuarakan hak-haknya yang selama ini tertindas. Tak hanya itu, pers mampu mendorong kaum perempuan untuk turut bergerak memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Melalui pers, banyak melahirkan jurnalis-jurnalis hebat yang memiliki peran penting dalam pergerakan kaum perempuan. Beberapa di antaranya yaitu Ani Idrus—pemilik surat kabar Waspada di Medan, Soerastri Karma Trimurti yang kemudian menjadi menteri tenaga kerja pertama di Indonesia, Rohana Kudus, dan Rasuna Said.
Secarik kertas dengan tulisan di dalamnya tidak bisa dianggap sepele pengaruhnya. Hanya dengan sebuah tulisan dalam kertas tersebut dapat memantik semangat dan mendorong kemajuan bagi pergerakan kaum perempuan untuk menyuarakan hak-haknya. Pers menjadi “senjata ampuh” dalam mewujudkan emansipasi wanita yang sejak dulu digembar-gemborkan, tak hanya oleh Raden Ajeng Kartini, tetapi juga oleh semua kaum perempuan yang ingin bangkit dari ketertindasannya.
Penulis :
Ratu Ajeng Siti Fatimah
Yaasiinta Anugrah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H