BAHASAN
Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Virus ini berasal dari genus Flavivirus famili Flaviridae yang vektornya adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus dengue terdiri dari 4 serotive yaitu virus DEN-1, DEN-2, DEN 3, dan DEN-4. Virus ini menyebabkan kesaitan dan kematian di negara-negara tropis dan sub tropis termasuk di Indonesia (CDC, 2013). (Irfandi, 2018)
Di Indonesia penyakit demam berdarah selalu meningkat pada awal musim hujan dan menimbulkan kejadian luar biasa di beberapa wilayah. Penyakit tersebut juga menimbulkan wabah lima tahunan di Indonesia, dimana wabah lima tahunan terakhir terjadi pada tahun 2003/2004.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kasus dengue tertinggi di Asia. Sejak ditemukan pada 1968, kejadian demam berdarah dengue (DBD) dilaporkan terus meningkat dalam beberapa decade terakhir. Misalnya, pada tahun 1968, kejadian DBD sebanyak 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35--40 per 100.000 penduduk pada tahun 2013. Data terbaru sampai minggu ke-36 dari Januari 2022 menunjukkan angka kesakitan atau incidenc rate (IR) kejadian DBD di dalam negeri tercatat sebesar 31,38 per 100.000 penduduk, dengan tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) sebesar 0,93% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2022). Setengah dari populasi dunia tinggal di daerah yang memiliki lingkungan yang sesuai untuk terjadinya transmisi dengue, baik di wilayah tropis dan di sebagian wilayah sub tropis. (Saraswati et al., 2023)
Upaya pencegahan infeksi dengue masih terbatas pada strategi pengendalian vektor. Pengendalian vektor utama untuk infeksi dengue adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk dan aplikasi insektisida untuk mengurangi populasi vektor. Namun, pengendalian vektor yang selama ini dilakukan belum cukup efektif untuk menekan transmisi infeksi dengue. Hal ini mendorong adanya pengembangan strategi baru untuk mengendalikan transmisi virus dengue, salah satunya dengan memanfaatkan bakteri endosimbiotik Wolbachia.
Wolbachia pertama kali ditemukan di jaringan reproduksi nyamuk Culex pipiens Linnaeus. Bakteri ini secara alami ditemukan dalam 66% spesies serangga dan juga pada arthropoda lain, seperti tungau, laba-laba, kalajengking, dan isopoda, serta nematoda filaria. Wolbachia dapat menginduksi berbagai kelainan reproduksi, seperti ketidakcocokan sitoplasma (cytoplasmic incompatibility, CI), distorsi rasio jenis kelamin, partenogenesis, dan feminisasi genetika pada inang, serta mengurangi masa hidup serangga inangnya. Para ahli di Australia berhasil menginfeksi embrio Aedes aegypti Linnaeus dengan Wolbachia yang berasal dari lalat buah Drosophila melanogaster Meigen, yaitu strain wMelPop dan wMel. Strain yang ditransfer tersebut sangat stabil dalam sel serangga dan diwariskan secara maternal dengan angka pewarisan yang sangat tinggi, terutama jika transfer dilakukan di dalam atau di antara spesies yang berkerabat dekat dalam satu famili atau genus. Selain itu, ditemukan bahwa strain Wolbachia tertentu dapat mengurangi lama hidup nyamuk dewasa, mempengaruhi reproduksi nyamuk, dan menghambat perkembangbiakan virus dengue dalam tubuh inangnya. Hal ini menjadikan nyamuk A. aegypti ber-Wolbachia sebagai pendekatan pengendalian infeksi dengue yang menjanjikan.
Uji coba pelepasan nyamuk A. aegypti berWolbachia telah dilakukan pertama kali oleh World Mosquito Program (WMP), suatu konsorsium penelitian beberapa negara yang bertujuan menguji teknologi Wolbachia sebagai metode pelengkap untuk pengendalian infeksi dengue, pada tahun 2011 di Cairns, Australia (World Mosquito Program 2022). WMP Yogyakarta memulai penelitian serupa sebagai proyek pelepasan skala terbatas pada tahun 2014 di dua dusun di Kabupaten Sleman dan tahun 2015 di dua dusun di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagai suatu pendekatan baru, teknologi ini mengundang kekhawatiran masyarakat dan pemangku kepentingan, khususnya terkait aspek keamanan. Apakah Wolbachia yang berada dalam nyamuk A. aegypti yang dilepaskan dapat mengganggu lingkungan biologis di sekitarnya? Apakah Wolbachia ini dapat ditularkan ke manusia saat nyamuk menggigit? Serangkaian kajian telah dilakukan untuk membuktikan aspek keamanan penerapan teknologi berbasis Wolbachia ini terhadap manusia dan lingkungan. Penelitian tersebut melaporkan bahwa Wolbachia tidak dapat berpindah ke lingkungan biotik dan abiotik di sekitarnya, dan Wolbachia tidak dapat menginfeksi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Irfandi, A. (2018). Kajian Pemanfaatan Wolbachia Terhadap Pengendalian DBD (Studi Literatur dan Studi Kasus Pemanfaatan Wolbachia di Yogyakarta). Forum Ilmiah, 15(2), 276--289.
Saraswati, U., Supriyati, E., Rahayu, A., Rovik, A., Kurniasari, I., Hermantara, R., Kumalawati, D. A., Daniwijaya, E. W., Fitriana, I., & Pramuko, N. B. (2023). Kajian aspek keamanan nyamuk Aedes aegypti Linnaeus ber-Wolbachia di Yogyakarta, Indonesia: Assessing the safety of Wolbachia-infected Aedes aegypti Linnaeus mosquitoes in Yogyakarta, Indonesia. Jurnal Entomologi Indonesia, 20(2), 117.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H