"Saya bosen Ibu, jadi rangking pertama. Saya capek Bu!". Itu keluhan salah satu anak didik saya. Rasa-rasanya baru kali ini saya dengar dia mengeluh. Bukankah rangking pertama adalah salah satu prestise, pencapaian yang diimpi-impikan banyak siswa. Sebuah kehormatan bagi pembelajar yang sungguh-sungguh. Belum lagi iming-iming bermacam hadiah dari orang tua ketika mendapat predikat "bintang kelas".
 Sehalus mungkin saya bertanya, minimal saya harus tahu mengapa menderitanya siswa tersebut. Betapa ciut hati saya mengetahui bahwa dia bosan setiap hari harus les ini dan itu. Belajar dari jam sekian hingga sekian. Mendisplinkan diri dengan hati porak poranda  pada beberapa pelajaran yang sama sekali tidak disukainya. Demi apa? Demi menyenangkan hati orang tuanya dan juga mungkin guru-gurunya dengan label "Rangking Satu".
Tabiat orang tuapun tidak berubah, dari jaman dahulu anak di tuntut peringkat pertama di kelas.Cerdas disemua pelajaran. Entah bagaimanapun caranya.Dan nyata-nyata terpampang di mata kita bahwa kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan spiritual.
Lihatlah! beberapa anak sibuk sekali mencari contekan saat ujian, mengintimidasi anak yg dirasa pandai dan rajin untuk mengerjakan tugas. Demi memuaskan hasrat orang tua mencapai nilai dan peringkat terbaik .
Inikah yang kita tanamkan pada jiwa-jiwa yang sedang bertumbuh? Menghalalkan segala cara. Dimana nilai kejujuran yang mati-matian guru pendam-pendamkan dijiwa mereka?
Jangan salahkan jika suatu saat mereka dewasa menganggap, penyelewengan, pengutilan, pengambilan hak-hak orang lain menjadi begitu lumrah.
Seolah-olah kelas menjadi sekat ruang dimana siswa disibukkan untuk berkompetisi mencapai rangking. Yang tidak rangking jelas murid terbodoh.Lupakan itu nilai-nilai berbagi, empati dan kebersamaan. Inikah yang kita mau?
Jangan lupa berkali-kali para ahli berteriak-teriak bahwa setiap anak mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda. Howard Gardner , profesor pendidikan dari Harvard membagi kecerdasan menjadi 9 yaitu: verbal linguistik, kinestetik, logika matematika, intrapersonal, interpersonal, musikal, moral, naturalis, visual spasial.Â
Bisa dibayangkan anak dengan kecerdasan musikal yang dominan. Mungkin lihai membaca angka-angka not tapi depresi ketika mengolah angka-angka pada matematika.
Lalu validkah acuan rangking hanya berasal dari nilai rata-rata tertinggi? Semua pelajaran? Sungguh omong kosong! Benar apa yang dikata orang, sungguh sia-sia jika mengajar ikan memanjat pohon atau terbang sekaligus.
Kapan kita mulai berfikir anak bisa belajar dengan gembira. Â Menjadi "tahu" (kata dasar dari ilmu pengetahuan) banyak hal, mendekap ilmu tanpa depresi dan frustasi, tanpa tuntutan rangking atau peringkat?