film dokumenter "Bebenjangan" yang disutradarai oleh Belva Atsil, seorang Mahasiswa angkata 2021 Program Studi Film dan Teknologi Fakultas Pendidikan Seni dan Desain dari Universitas Pendidikan Indonesia. Fakta menariknya adalah film ini digarap ketika Beliau masih berada di semester 3 dan berhasil menyabet berbagai macam prestasi. Salah satu prestasi yang berhasil dicapai adalah Bebenjangan termasuk dalam nominasi film dokumenter pendek terpilih dalam Piala Maya 2022. Â Adapun latar belakang dibuatnya film ini berawal pada keresahan terhadap seni pertunjukan Benjang yang dilihat semakin melenceng dari nilai-nilai seni-budaya hingga norma-etika karena oknum tertentu yang memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk melakukan pelecehan.
Kegiatan Refleksi Kelompok 13 Reak Universitas Pendidikan Indonesia pada Sabtu (24/02/2024) adalah bedahBenjang Helaran dan Benjang Gulat
Pada awal film kita akan diperkenalkan dengan sejarah seni pertunjukan Benjang dan makna yang ada di dalamnya. Seni pertunjukan Benjang adalah seni pertunjukan tradisional yang berasal dari daerah Ujungberung, Bandung, Jawa Barat. Seni pertunjukan ini pun terbagi menjadi dua jenis, yaitu Benjang Helaran dan Benjang Gulat.
Benjang Helaran merupakan seni pertunjukan yang berbentuk arak-arakan. Pertunjukan ini seringkali diadakan untuk memeriahkan acara-acara tertentu seperti nikahan, festival budaya, pawai, dan khususnya khitanan. Fungsi dari Helaran sendiri menurut narasumber adalah sebagai "ngabebenjokeun budak" yang dapat diartikan sebagai "mengalihkan perhatian anak-anak". Hal ini dilakukan agar anak yang dikhitan dapat teralihkan perhatiannya dari rasa sakit dengan atraksi kuda lumping, reak, dan sebagainya. Benjang Gulat merupakan seni beladiri tradisional yang dipertontonkan sebagai hiburan rakyat. Gulat dimainkan oleh dua orang laki-laki yang saling beradu kekuatan dan ketangkasan diiringi dengan alunan alat musik tradisional. Para peain Benjang Gulat tidak menggunakan pelindung apapun, sehingga pertunjukan ini cukup berbahaya.
Sejarah Seni Pertunjukan Benjang
Seni Pertunjukan Benjang diyakini telah ada sejak abad ke-19. Awalnya. seni pertunjukan ini merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh para pemuda di daerah Ujungberung. Permainan ini kemudian berkembang menjadi seni pertunjukan bela diri yang disebut Benjang Gulat. Pada awal abad ke-20, Benjang Gulat mulai dipertontonkan sebagai hiburan rakyat. Pada tahun 1970-an, Benjang Gulat mulai mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti munculnya olahraga modern dn perubaha sosial budaya masyarakat. Namun, pada tahun 1990-an, Benjang Gulat mulai dihidupkan kembali oleh beberapa komunitas Budaya Bandung.
Pertunjukan Seni Benjang Saat Ini
Saat ini, seni pertunjukan Benjang masih dilestarikan oleh beberapa komunitas budaya di Bandung. Pertunjukan Benjang Helaran dan Benjang Gulat masih sering diadakan pada acara-acara tertentu seperti festival budaya dan pawai. Pada acara pembukaan, Bebenjangan dimulai dengan dimainkannya waditra (alat-alat musik) yang dilanjutkan dengan topeng Benjang, lengser, kuda kepang, kemudian iring-iringan mengarak yang anak yang dikhitan. Sementara itu, atraksi lain dilakukan ketika arak-arakan selesai dilakukan. Dalam pertunjukan seni Benjang, seringkali akan ditemukan sajen berupa kopi, teh, susu, bakakak ayam, telur, gula merah, minyak wangi, dan sesajen lainnya yang digunakan sebagai media untuk memohonan perlindungan, penghormatan kepada leluhur dan roh-roh, serta ungkapan rasa syukur. Di sisi lain, sajen juga berfungsi sebagai media yang mendukung performance art yang dilakukan para pemain seni Benjang.
Hal klenik dan mistisisme memang seringkali menjadi bagian integral dalam berbagai pertunjukan seni budaya di Indonesia, tidak terkecuali seni Benjang. Sayangnya, hal tersebut dimanfaatkan oleh oknum komunitas budaya dengan menggunakan minuman keras untuk menciptakan kesan "kesurupan". Adrenalin yang menigkat karena dipicu oleh minuman keras membuat pemain Benjang berani melakukan tindakan ekstrim seperti memakan beling, ikan mentah, hingga berkubang di lumpur.
Atraksi seni yang dulunya sekadar helaran atau pertunjukan sekarang dijadikan ajang aji mumpung dimana kesenian dimanfaatkan untuk melakukan tindakan tidak senonoh dengan alasan "ataksi" dan "kesurupan" atau "tidak dalam keadaan sadar". Tindakan pemain Benjang yang berlari dan menerjang perempuan tanpa ijin (bahkan bisa dikategorikan sebagai pelecehan) seperti menjadi pola berulang dalam pertunjukan ini; dimana kekerasan terhadap perempuan ditampilkan sebagai hiburan. Masalah ini bahkan pernah dibawa ke ranah hukum akibat tindakan pelecehan sehingga oknum komunitas budaya Benjang tersebut ditutup atau dibekukan sementara. Â Imbas yang ditimbulkan pun tidak hanya pada oknum komunitas tersebut tetapi juga berimbas pada pelaku seni lainnya.
Budayawan, Pelaku Seni, dan masyarakat beharap seni pertunjukan Benjang (atau pun seni lainnya) tidak dikembangkan ke arah yang negatif, entah itu dengan minuman keras maupun tindakan tidak senonoh. Kultur yang semacam itu akan menghambat dan mencoreng citra seni pertunjukan Benjang. Etika yang dipertahankan juga mengambil peran penting dalam berkesenian. Pelaku seni juga harus mengingat tujuan dari pertunjukan yang salah satunya sebagai hiburan, cukup sebagai hiburan. Jangan sampai dijadikan ajang aji mumpung untuk memuaskan atau melampiaskan nafsu dan melakukan tindakan tidak pantas lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H