Mohon tunggu...
Siti ade ilma Tanzila
Siti ade ilma Tanzila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Perempuan

Mahasiswa PLS Universitas Sriwijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Opini Masalah Gangguan Mental (Kasus Fatherless)

6 November 2023   12:02 Diperbarui: 6 November 2023   12:05 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus gangguan mental yang terkait dengan keadaan "fatherless" atau ketiadaan figur ayah dalam kehidupan seseorang bisa sangat kompleks. Tidak dapat disimpulkan dengan mudah bahwa ketiadaan seorang ayah adalah satu-satunya faktor penyebab gangguan mental. Gangguan mental dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk genetik, lingkungan, pengalaman traumatis, dan dukungan sosial.

Fatherless atau ketiadaan ayah hakikatnya adalah ketika ayah hanya ada secara biologis namun tidak hadir secara psikologis di dalam jiwa anak. Fungsi ayah lambat laun menjadi dipersempit kepada dua hal yakni: memberi nafkah dan memberi izin untuk menikah. Sementara fungsi pengajaran atau transfer nilai-nilai kebaikan justru hilang yang mengakibatkan anak tak mendapatkan figur ayah dalam dirinya secara utuh.

Fatherless erat kaitannya dengan peran ayah terhadap anaknya. Pertumbuhan dan perkembangan anak senantiasa membutuhkan perhatian serta bimbingan dari kedua orang tuanya. Namun tidak sedikit keluarga yang kurang memperhatikan masalah ini dengan baik. Kurangnya perhatian dan bimbingan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi kemampuan anak dalam beradaptasi dan bersosial dengan orang-orang di sekeliling tempat ia berada. Sudah semestinya ibu dan ayah secara bersamaan saling berperan secara seimbang dalam membina keluarga. Hanya saja harapan seperti ini belum tercapai secara menyeluruh pada semua keluarga di Indonesia. Tidak sedikit dari keluarga Indonesia masih menerapkan pola asuh patriarkhi dengan mengedepankan peran ibu sebagai pemeran keseluruhan tugas domestic. Sedangkan peran ayah didalamnya masih kurang dutamakan (Dasalinda dan Karmeli: 100). Bagi sebagian anak, pola ini seakan menciptakan sebuah pembatas anatara anak dengan ayahnya untuk sekedar saling berkomunikasi. Anak yang dibesarkan dengan pola ini biasanya mengalami kurang perhatian dan kasih sayang dari seorang ayah. Akibatnya dalam masa-masa peralihan terutama dalam masa remajanya, anak tersebut cenderung berpotensi terjerumus ke dalam kenakalan remaja (Juvenile Deliquency).

Munculnya fenomena fatherless lebih banyak dikarenakan paradigma pengasuhan yang dipengaruhi oleh budaya lokal. Paradigma ayah dipengaruhi stereotype budaya bahwa laki-laki itu tak pantas urus anak dan tak boleh terlibat dalam urusan pengasuhan. Sementara tantangan pengasuhan setiap masa semakin bertambah. Ditambah lagi kebutuhan materil masyarakat modern yang makin bertambah yang akibatkan kesibukan bekerja menjadi prioritas hidup demi mengejar segala target yang berkenaan dengan materil. Akhirnya waktu kebersamaan bersama anak berkurang dan cenderung tidak berkualitas.

Ketiadaan sosok ayah atau dikenal dengan istilah fatherless bisa menimbulkan beberapa dampak terhadap psikologis anak. Anak dengan fatherless biasanya tumbuh dengan perasaan rendah diri (self estem), perasaan marah (anger), malu (shame), kesepian (lonelies), kecemburuan (envy), kedudukan (grief), dan kehilangan (lost) dalam taraf yang berlebihan, memiliki kemampuan rendah untuk mengontrol diri, kesulitan berinisiatif. mental yang tidak stabil hingga menyebabkan kecenderungan neurotic. Perasaan rendah diri atau harga diri rendah nrmal dialami manusia dalam keadaan tertentu, perasaan rendah diri muncul akibat suatu kesedihan berkepanjangan. Meski rendah diri muncul secara situasional, namun adakalanya perasaan tersebut bisa menjadi kronis. Rendah diri secara berlebihan mengakibatkan seseorang overnegatif terhadap dirinya sendiri dan kehilangan kepercayaan diri. Rendah diri kronis bisa dianalisa melalui perilaku yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung oleh orang yang mengalaminya berupa kecemasan dalam berbagai tingkatannya (Wijayati, dkk: 226).

Opini ini di buat oleh salah satu mahasiswi Universitas Sriwijaya program studi Pendidikan Masyarakat yang merupakan tugas pada MK Patologi Sosial dengan dosen pengampu ibu Dra. Evy Ratna Kartika Waty, M. Pd., P. HD. Dan Ibu Mega Nurrizalia, S.Pd., M.Pd.

Nama: Siti Ade Ilma Tanzila

Nim: 06151282126042

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun