Mohon tunggu...
siti munawwaroh
siti munawwaroh Mohon Tunggu... -

saya siti munawwaroh senang melukis, memasak, dan menulis. mohon bantuan dari agan-agan biar tulisan saya lebih baik lagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Untukmu Ibu

17 Januari 2015   04:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi kembali, mentari menyapa dunia dengan sangat bersemangat, ini adalah hari libur sekolah dari kelulusan tsanawiah. Hari ini kami sekeluarga akan berziarah kemakam ayah tercinta, saat ini sudah sekitar jam 10. 00 WIB pagi, rasanya ku sudah tak sabar, wajar sudah sepuluh tahun kami ditinggalkan, rasanya ku sudah sangat rindu. hari semakin meninggi hampir jam 11. 00 WIB siang akhirnya kami pulang berziarah.

Malam ini ku tak bisa tidur, ziarah kali ini memberikan kesan berbeda, sempat terpikir dibenakku tentang kemana ku harus melanjutkan sekolah SLTA, ku sempatb cemas ku ingin sekali melanjutkan sekolah SLTA di pondok pesantren tapi, yang menjadi penghalang ialah masalah biaya, banyak orang bilang biayanya mahal. Tuhan. . . . . bantu aku, keinginan besarku untuk sekolah di pondok pesantren bukan hanya sekedar ingin tapi, ku mempunyai tujuan besar.

Ingin rasanya ku bicara pada ibuku, mengutarakan semua isi hatiku ini tapi aku ragu, aku takut hal ini menjadi beban pikiran ibuku. Ahh, mengapa lidahku terasa berat sekali, aku berusaha melangkahkan kaki keluar kamar, ku buka pintu kamarku, ku lihat ibuku sedang menyiapkan barang-barang. Terdengar olehku suara bising tumpukan alat-alat dapur yang terbuat dari aluminium. Barang-barang yang biasa dijual ibukun dipasar , ada satu hal yang membuat langkahku terhenti. Tetesan keringat itu, yah tetesan keringat ibuku. Aku tak sanggup melihatnya, ku merasa cukup terpukul, ku harus melakukan apa tuhan?

Aku akan menunggu hingga ibuku seleai, waktu itu hampir jam 23. 00 WIB malam, akhirnya ibuku selesai juga, terdengar langkah kakinya menuju kamar, cepat ku tarik selimut berpura-pura tidur. Ibu ku mendekat, ibu mengelus kurasakan sentuhan jemari halusnya. Tuhan ku tak ingin melihatnya terbebani. ku memilih untuk dian, sampai tiba nantinya waktu untuk bicara.

Pendaftaran santri baru sudah dibuka dimana-mana orang-orang sibuk mendaftar , sementara aku masih dalam ambang ketidak pastian, bingung. Pagi itu ada sesuatu yang membuatku terkejut . ibu memenggil. ”Riza, Riza. ” (lalu menjawab) “iya. . . . ”, makan.

Seperti biasa, sapaan itu setiap paginya untuk mengajak makan. Pagi ini kami makan nasi goreng buatan ibuku yang sangat enak, seperti biasa kami sarapan di waktu yang masih sangat pagi, kami makan bersama sambil nonton tv. Selesai makan ibuku sempat bertanya,

“Riza maunya ngelanjutin sekolah dimana?”

Aku tertegun, bicara terbata-bata. “Ibu. . . Riza pengen ngelanjutin di pondok pesantren. ”

“Pondok pesantren mana?”, Ku lihat ibuku menjawab sambil tersenyum .

“AL-ittifaqiah”jawabku

Ibuku terdiam, ku merasa ibuku sangat tertekan. ”Disana sangat mahal anakku”. Sudah kuduga ibuku bicara seperti itu, aku pergi kekamar menangis sejadi-jadinya, keinginanku sekolah di pondok sudah sangat bulat, tapi aku juga tak bisa memaksa ibuku. Ku tak tau harus bagaimana ya ALLAh. . . .

Waktu sudah menjukkan jam 07. 30 WIB. itu artinya ibuku sebentar lagi akan berangkat jualan ke pasar. aku sangat terhenyak, hal ini pasti menjadi beban pikiran ibuku. Ya Allah, ku merasa sangat bersalah , sudah terlalu banyak beban yang ia tanggung. Kulihat ia lari ke depan menuju mobil tumpangan untuk pergi ke pasar. Ku berusaha mengejar, ku jabat tangannya. ibu sempat berkata,

“Nanti ya nak saat ibu pulang kita bahas”. Iya. . . . (jawabku dengan mata yang masih basah). Ku kembali kekamar, berfikir tidak karuan. Ku teringat ayah, jika ayah masih hidup mungkinkah hidupku tak lagi terbatas biaya seperti ini.

“Ayah. . . . . . . ”

Ingin ku menjerit sepuasnya tuhan, mengapa kau ambil ayahku seperti ini, dapat ku hitung waktu ketika pertama kali ku dilahirkan didunia, dengan terakhir kali ku melihat ayah. Waktu itu umurku baru beranjak 4 tahun, adikku yang paling kecil tak pernah tau siapa ayahnya. ayah pergi ketika adik masih berumur 1, 5 tahun. Masih teringat dimemoriku semua kanangan indah bersama ayah, saat ia menggendongku, membelikan boneka lucu, mengajak bermain.

“Ayah. . . ”

Andai saja waktu itu bisa kembali, ku akan pegang erat tanganmu, agar tuhan tak mengambilmu dari ku. Ya rob. . . . Rasanya sangat sesak, jika mengingat apa yang terjadi padaku, ku hanya gadis kecil yang masih sangat lembut tuhan. . .

Ya allah. . .

Limpahkanlah karuniamu pada keluarga kami.

Hari menjelang dzuhur, adzan sudah berkumandang. waktunya sholat dzuhur tiba, dengan cepat ku lari kekamar mandi untuk mengambil air wudhu. Anehnya, hati yang tadi sangat kesal berubah menjadi sangat sejuk. Kala ku usapkan air wudhu itu, entah mengapa? Seketika hatiku terasa sangat damai, setiap tetesnya terasa memberiku ketenangan. Cepat ku dirikan sholat dzuhur bersama adikku. Ku berdo’a semoga allah selalu memberikan rahmatnya. Waktu terus berjalan , mentari sudah berada di ufuk barat, hari mulai senja ku lihat ibuku pulang dari kerjanya, berjualan dipasar. Kami semua senang, cepat ku ambil keranjang barang milik ibuku. Ibu pulang dengan membawa banyak makanan.

“nanti ya nak. nak ibu telpon bunda dulu” (ragu ibuku)

“Ya” (jawabku). Bundaku bernama ibu masitoh, dia adalah ibu angkatku, dia orang yang sangat baik. Dia adalah guru mengaji dan seorang daiah, maklum ibuku sering meminta pendapat dan bantuan padanya. Kusering memanggilnya “bunda”. Dulu waktu ayah baru meninggal, keluarga mereka membantu kami dengan sepenuh hati, wajar hingga hari ini keluarga kami masih dekat dengan keluarga mereka.

Bunda bilang”nanti segera kita daftarkan”, kalimat itu adalah kalimat yang sempat terdengar olehku, waktu mereka melakukan percakapan lewat telepon. ibu bilang padaku ia akan menjual emas dan mengumpulkan seluruh tabungannya untuk biaya awal dan keperluan-keperluanku nanti. Ya allah, mendengar jawaban itu ku langsung menangis sebagai tanda syukur padamu. Ridhoilah aku tuhan. . . . Ku berjanji suatu hari nanti akan ku buktikan pada ibuku bahwa usahanya tak pernah sia-sia. Semoga suatu hari kelak , aku dapat membahagiakan satu-satunya orang tua yang masih kumiliki, yaitu ibuku. . . . semoga aku menjadi orang yang sukses. Aminn. . . . . . !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun