Senandung kecil mengiringi langkah perempuan yang mengenakan jilbab abu-abu dengan gamis berwarna hitam polos itu. Sesekali ia berhenti dan menyapa orang yang berpapasan dengannya. Ia tersenyum lebar ketika tujuannya hampir tiba, ia menatap bangunan berwarna cokelat muda yang telah menjadi tempat tinggalnya lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kakinya terhenti tepat di depan pintu, tangannya terangkat hendak mengetuk. Namun, gerakan itu ditahan sesaat.
"Terserah kamu! Pikirkan apa pun yang ingin kamu pikirkan!"
Sayup-sayup ia mendengar percekcokan dari dalam. Jelas ia hapal, itu suara paman dan bibinya. Sejauh yang pernah dilihat dan didengar, jarang sekali ia mendengar keduanya berargumen. Keluarga itu dikenal sebagai keluarga paling harmonis di kampung tersebut.
Beberapa menit berlalu, suasana pun berubah sepi. Gadis itu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak ada yang menyahut. Ia kemudian memutar knop pintu dan menyembulkan kepala ke dalam. Benar-benar tak ada siapa pun.
"Kak Yunda!?" Sebuah teriakan terdengar dari luar. Gadis yang merasa namanya dipanggil pun bergegas membuka pintu.
"Ah, benar, Kak Yunda sudah pulang."
Yunda tak langsung menyahut, ia masih memikirkan apa yang didengar tadi. "Erik."
Lelaki itu melepaskan jaket kulit hitam dari tubuhnya dan menoleh pada Yunda. Ia tak bersuara, tetapi menggerakkan alis sebagai respons.
"Kamu pernah dengar paman dan bibi bertengkar nggak?" Pertanyaan itu sontak membuat Erik melotot.
"Apaan sih, pertanyaan kakak nggak jelas banget." Lelaki itu masuk ke ruang tamu dan menghempaskan jaketnya di atas sofa. Ia kemudian berjalan ke belakang, minum dan menaiki tangga menuju lantai atas.
Yunda sendiri tak bisa menafsirkan apa yang ada di pikiran Erik. Ia menghela napas panjang dan memilih duduk di sofa sambil merengkuh jaket Erik tanpa sadar.