Mohon tunggu...
Siti kholis komara
Siti kholis komara Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat kegaduhan pemikiran

Penggiat Sosial yang hanya bisa menyumbangkan pemikirannya agar hidup tak kehilangan makna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Orang Jawa Jika Sudah Menikah Harus Pisah Rumah?

17 Mei 2020   12:54 Diperbarui: 17 Mei 2020   12:57 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Iya ya, pernah tidak sih kamu mendapatkan pertanyaan serupa, kenapa?

Saya terdorong mencari tahu setelah mendapatkan pertanyaan itu dari seorang teman asal Sulawesi Selatan yang tanpa sengaja kita berbagai sudut pandang soal kebiasaan dan adat. 

Teman saya bertanya "Kenapa sih saya lihat orang-orang Jawa itu kalau sudah menikah harus pisah rumah dari orang tuanya terus sepertinya banyak yang memiliki hubungan tidak baik dengan mertua atau keluarga besar, beda sekali dengan kami disana yang sangat solid dan rukun, dekat sama keluarga besar".

Saat itu saya hanya menjawab " Tidak semua orang Jawa seperti itu, mungkin kebanyakan iya tapi itu kembali ke masing-masing orangnya dan bagimana kondisi keluarganya, tidak bisa disamakan dong".

Saat itu dialog berkembang ke banyak hal tapi jawaban yang saya berikan kepada teman saya justru memunculkan pertanyaan lanjutan dalam benak saya. "Iya ya, kenapa kebanyakan orang Jawa punya dorongan kuat untuk pisah rumah, ya walau tidak semua tapi mayoritas sikapnya seperti itu, bahkan yang belum menikah saja banyak yang terdorong ingin segera punya rumah sendiri".

Akhirnya sejak saat saya coba melakukan beberapa pengamatan terakit masalah itu dan ternyata ada beberapa hal yang menjadikan kebanyakan orang Jawa memiliki dorongan kuat untuk pisah rumah. 

Salah satu hal yang paling umum adalah terkait karakter orang Jawa yang 'Sungkanan' atau merasa tidak enak, jadi ada pemahaman budaya saat anak itu sudah menikah maka sudah seharusnya mengurus diri sendiri dan tidak lagi merepotkan orang tua. 

Jika itu laki-laki maka akan merasa tidak enak kalau keluarganya menumpang di rumah mertua, rasa-rasanya kurang memberikan kecukupan karena seharusnya semua tanggungjawab anak dan istri termasuk urusan papan adalah tanggungjwabnya, secara alamiah seorang laki-laki ingin menjadi orang yang bisa diandalkan.

Jika itu perempuan sama saja akan merasa tidak enak jika harus ikut tinggal di rumah mertua karena merasa tidak bebas dan tidak jarang bersilih paham soal urusan mengatur rumah tangga karena secara alamiah seorang perempuan ingin bebas mengatur seperti apa tata rumah, menu masakan, cara mendidik anak dan banyak hal lainnya.

Walau tidak semua orang tua ingin ikut mengurusi urusan rumah tangga anaknya tapi biasanya jika masih satu atap mau tidak mau pasti ada komentar atau masukan nah ini yang jadi masalahnya tidak jarang banyak yang merasa sakit hati, baper dan bendol buri (menggerutu di belakang) yang akhirnya membuat hubungan tidak harmonis makanya kebanyakan orang akan memilih untuk pisah rumah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dan menjaga keharmonisan antar keluarga.

Selain karena masalah karakter, primodial lingkungan atau kebanggaan lingungan menjadi salah satu pendorong orang ingin segera pisah rumah. 

Orang yang dianggap sukses adalah ketika sudah punya rumah, jika komentar itu tidak datang dari keluarga inti maka bisa saja datang dari keluarga besar atau sangat-sangat mungkin datang dari para tetangga yang secara budaya Jawa masih sangat guyub.

Ada lelucon yang sedikit menggelitik "Ada hal yang lebih berbahaya dan mematikan dari Corona serta penularannya secepat jet yaitu congorna tentangga yang bisa merambat sangat cepat dari congor ke congor" nah karena budaya rumpi dan senangnya kumpul-kumpul membuat banyak topik diangkat termasuk soal urusan tumpang-menumpang, orang yang masih ikut orang tua atau mertua apalagi yang sudah berkembang biak akan dianggap kurang sukses. 

Sebenarnya itu cuman anggapan tapi balik lagi ke kasus pertama orang Jawa memiliki hati yang sangat halus dan akan menjadi masalah besar jika dibarengi dengan tingkat emosinal yang tinggi.

Tapi saya percaya orang Jawa punya mental yang kuat walau harus menahan ego ingin mengatur sendiri urusan rumah tangga dan tahan banting dengan gunjungan tetangga.

Ternyata faktor ketiga ini yang terkadang memaksa orang harus segara pisah rumah yaitu, kondisi rumah orang tua.

Pernahkah kita mendengar istilah "Banyak anak banyak rezeki" dan benar saja pulau Jawa menjadi pulau terpadat karena produksi anak disini cukup pesat yang celakanya tidak diimbangi oleh kemampauan ekonomi sehingga satu petak rumah bisa diisi oleh 6-7 orang (Ayah, ibu dan 4-5 orang anak). 

Bayangkan jika satu anak menikah dan harus ikut rumah orang tuanya maka akan ada tambah satu kepala belum lagi kalau punya anak bisa saja satu kamar dihuni oleh satu keluarga, jika kondisi rumah luas mungkin tidak menjadi masalah tapi kasus yang banyak terjadi rumah sempit di sekat-sekat yang efek berikutnya adalah terjadilah hubungan yang tidak harmonis. 

Apa ada yang tetap harmonis walau harus hidup berdampingan? Kalau saya percaya masih ada yang bisa dan santai ada dengan urusan saling singgung.

Semua kembali ke masing-masing personal bagimana harus menyikapi setiap masalah, persoalan pisah rumah atau tidak kembalikan kepada kemaslahatan dari berbagai sisi, jika dengan pisah rumah justru hidupnya semakin susah dan mengancam eksistensi rumah tanggga maka apa tidak sebaiknya bertahan dengan syarat dan ketentuan berlaku tapi sebaliknya jika tidak pisah rumah justru membuat tidak sehat dan menyusahkan maka pisah rumah menjadi pilihan terbaik. 

Orang Jawa atau bukan menurut saya tidak ada hubungannya karena pertimbangan pisah atau tidak adalah pada kebaikan semua pihak agar hidup lebih sehat jiwa dan raga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun