Terjadi lagi kasus pembunuhan, menariknya kasus ini terungkap setelah gadis remaja berinisial NF (15 tahun) yang merupakan pelaku pembunuhan balita berusia 6 tahun  mendatangi Kantor Polsek Metro Tamansari, Jakarta Barat, Jumat, 3 Maret kemarin. Kepada petugas dia mengaku telah melakukan pembunuhan.
"Ada tadi pagi, tapi cuma sebentar saja. Yang piket bertanya, rupanya tempat kejadian perkaranya itu di Sawah Besar (Jakarta Pusat), jadi diarahkan ke sana," kata Kapolsek Taman Sari, AKBP Abdul Ghofur saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (6/3/2020).
Abdul Ghofur menjelaskan, gadis remaja itu datang seorang diri sekitar pukul 10.00 WIB. Salah satu petugas jaga lantas menemuinya. Remaja itu menjelaskan, ada jasad anak kecil yang disimpan di lemari kamarnya
"Katanya dia habis membunuh, yang dibunuh ada di rumah. Dia disimpan dalam lemari,"Â ujar Kapolsek.
Kesan pertama saat membaca berita mengenai kasus ini adalah pertanyaan besar yang muncul ‘kok bisa?’.
Lalu beragam spekulasi bermunculan ‘wah jangan-jangan nih anak psikopat’ atau muncul kecurigaan dan menyalahkan orang tuanya, ‘pasti salah asuh nih’ sebagian dari kita juga beranggapan perilaku remja ini hanya karena efek lingkungan ‘gara-gara tontonan ga bener jadinya gini nih.’Â
Coba kita uraikan kasus ini untuk bisa melihat secara lebih luas.
Kronologis kejadian
Pra Kondisi/Sebelum pembunuhan terjadi
Data yang kita gunakan sementara karena kasus ini masih dalam proses pengembangan dan bisa saja ditemukan fakta-fakta baru.Â
Sebelum kejadian NF dikenal sebagai anak yang pintar,memiliki kemampuan bahasa inggris dan menggambar yang baik, berprestasi dengan adanya dua piala yang diraihnya, NF menyukai film horor dan pembunuhan. Sudah ada hasrat untuk membunuh, memikirkan dan membuat beberapa imajinasi pembunuhan. Â
Proses pembunuhan
Timbul rasanya ingin membunuh dan pada saat melihat korban, korban dipanggil untuk diambilkan mainan di bak mandi. Karena sudah terbiasa bermain di rumah NFÂ yang merupakan tetangganya, bocah tersebut nurut.Â
Pada saat di bak, ditenggelamkan sampai lima menitan. Supaya tidak berteriak, pelaku menyumpal mulut korban menggunakan jarinya.Â
Tindakan itu yang membuat mulut korban mengalami pendarahan. Lalu diangkat dimasukkan ke dalam ember, lalu ditutup pakai seprai, niat awal akan dibuang tapi karena sudah terlalu sore akhirnya mayat itu dimasukan ke dalam lemari.
Pasca pembunuhan
Setelah melakukan pembunuhan NF bersikap seperti biasa tidur di kamarnya, bersiap berangkat sekolah dan berniat akan menyerahkan diri dengan membawa pakaian ganti. Melapor dan mengaku tidak merasa bersalah justru merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya.
Kasus seperti ini hanyalah sebagian kecil dari kasus yang pernah terjadi, kasus suami yang menikam istrinya sendiri karena selingkuh, orang yang membunuh tentangganya karena kesal lantas menyerahkan diri pada pihak berwajib dan merasa puas, seolah itulah hal yang seharunya dilakukan.Â
Mereka siap dengan segala risiko asalkan hasratnya tersalurkan dan justru menikmati hal itu. Apa yang salah? Apakah memang manusia memiliki sifat buas dan menikmati kekejaman dalam dirinya? Bukankah manusia adalah makhluk yang sempurna.
Kita mungkin sudah mengenal 3 kecerdasan dasar yang dimiliki oleh manusia, IQ, EQ, SQ. Setiap kecerdasan memiliki peran tersendiri dalam proses pembentukan karakter seseorang.Â
IQ (Kecerdasan Intelektual) adalah kemampuan menalar, membuat perencanaan, memecahkan masalah dan berpikir secara kritis, oarang dengan IQ yang baik akan terlihat menonjol, dikenal pintar dan memiliki kemampuan perencaan yang baik.
EQ/Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk mengendalikan diri, semangat, ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri, bertahan menghadapi frustrasi dan kesanggupan untuk berempati kepada orang lain.Â
Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik akan dikenal sebagai orang yang ramah dan dianggap sebagai orang yang baik karena sikapnya yang mampu memposisikan diri.
SQ/Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan untuk melihat makna dari masalah, memahami setiap kegiatan sebagai ibadah demi kepentingan umat manusia dan tunduk pada aturan Tuhan.
 Orang dengan kemampuan spiritual yang baik akan dikenal sebagai orang yang pandai mengambil hikmah dan menjaga tindakannya agar tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan.
Saat salah satu dari ketiga kecerdasan itu tidak ada maka keseimbangan perilaku akan terganggu. Seperti kasus yang dilakukan NF, secara kemampuan intelektual kita bisa mengatakan NFÂ sangat baik terlihat bagimana dia melakukan segala tindakannya dengan perencanaan, sosoknya yang terkenal pintar dan berprestasi. Hanya saja dua kemampuan lainnya tidak berkembang dengan baik.Â
Rasa puas setelah melakukan pembunuhan, perasaan tidak bersalah menunjukan bahwa rasa empatinya tidak berkembang, sosok nya dikenal sebagai orang yang sangat sulit meminta maaf, coretan dan gambar dalam bukunya yang melukiskan bagimana perasaannya mengindikasikan NF adalah orang yang sulit untuk mengelola emosi dan puncaknya saat ada dorongan untuk membunuh dia kalah oleh emosinya/hawa nafsu.
Tidak hanya kecerdasan emosional yang tidak berkembang tapi juga kecerdasan spiritual nya, keberanian dia membunuh dan menyerahkan diri pada pihak berwajib menandakan bahwa dia siap dengan segala risiko yang akan diterima, yang ada dipikirannya adalah saya ‘puas dengan apa yang telah saya lakukan,’ ‘saya tidak merasa bersalah dengan apa yang telah saya lakukan,’.
Berarti dia menganggap perbuatannya adalah satu kebenaran kenapa harus disesali dan hal itu bertentangan dengan hukum spiritual, apa pun agamanya saya yakin tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk melakukan pembunuhan tanpa alsan.
Mengajarkan dan mengembangkan 3 kecerdasan tersebut menjadi hal yang sangat penting terutama pada anak-anak dan remaja yang secara potensi melakukan kesalahan cukup besar.
Hal semacam itu mengingat fase hidup mereka yang masih pada tahap coba-coba ditambah kita hidup di Era Globalisasi di mana akses informasi terbuka sangat lebar, semua hal bisa masuk, pembatasan akses pada hal-hal negatif tidak cukup efektif diterapkan pada anak yang sudah mulai beranjak remaja karena mereka dengan mudah akan mencari cara lain justru penangkalnya ada dalam diri, membuat sistim dari luar saja tidak cukup tanpa membangun sistim di dalam diri.Â
Orang tua merasa cukup dan membanggakan anaknya yang pintar secara intelektual tanpa memperhatikan bagimana kecerdasan emosional dan spiritualnya.Â
Hal inilah yang menjadi sebab kenapa muncul kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak terduga, karena sebenarnya mereka adalah orang yang tidak baik-baik saja sejak awal.
Hal yang paling sulit justru terletak pada cara mendidik kecerdasan emosional dan spiritual karena orang dengan kecerdasan intelektual tinggi tanpa kecerdasan emosional dan spiritual jauh lebih berbahaya daripada orang dengan kecerdasan standar tapi memiliki kecerdasan emosial dan spiritual yang baik.Â
Kepintaran yang dibangun di atas kebencian, keculasan, kekejaman akan menghasilkan para penjahat yang tak bisa kita identifikasi dengan mudah karena keberadaanya hampir tak terlihat, aksinya rapih dan terencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H