Mohon tunggu...
Siti Nabila Elvito
Siti Nabila Elvito Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Mahasiswa Universitas Sriwijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Istilah Grooming pada Kasus Guru-Murid di Gorontalo Sebagai Patologi Sosial

6 Oktober 2024   07:47 Diperbarui: 6 Oktober 2024   08:53 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Child grooming adalah fenomena sosial yang mengkhawatirkan, terutama karena bentuknya yang halus dan manipulatif. Lembaga masyarakat internasional, yakni National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), mendefinisikan bahwa grooming merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk membangun hubungan, kepercayaan, dan hubungan emosional dengan seorang anak atau remaja sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melecehkan mereka. Proses ini sering kali dimulai dengan pemberian perhatian lebih, hadiah kecil, dan pemahaman yang tampak tulus, namun sebenarnya bertujuan untuk memanipulasi korban secara psikologis.

Kasus grooming guru-murid yang baru-baru ini terjadi di Gorontalo menjadi contoh nyata bagaimana praktik ini dapat merusak kepercayaan dan mengganggu keamanan di lingkungan pendidikan. Guru yang seharusnya menjadi pelindung, justru menyalahgunakan kekuasaan dan kedekatan dengan murid untuk kepentingan pribadi yang melanggar hukum. Ironisnya, meskipun pelaku telah dijerat hukum, korban justru dikeluarkan dari sekolah, sebuah fakta yang mencerminkan lemahnya perlindungan bagi korban dalam kasus-kasus seperti ini. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kegagalan individu, tetapi juga sistem pendidikan yang belum mampu mengatasi potensi penyalahgunaan kekuasaan. Ketimpangan relasi antara guru dan murid menciptakan celah bagi perilaku grooming terjadi, dan hal ini semakin diperparah oleh minimnya edukasi tentang seksualitas dan perlindungan anak. Kurangnya pemahaman publik tentang child grooming sering kali membuat kasus ini dianggap sebagai hubungan "suka sama suka," padahal secara hukum, anak di bawah umur tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan yang sah.

Dampak child grooming terhadap korban sangat merusak, baik dari segi psikologis maupun fisik. Banyak korban yang mengalami trauma berkepanjangan, kecemasan, depresi, hingga gangguan perilaku yang sulit dipulihkan. Rasa bersalah, kehilangan harga diri, dan isolasi sosial adalah beberapa efek jangka panjang yang sering kali dialami oleh korban. Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, sangat penting bagi sekolah dan institusi pendidikan lainnya untuk memperketat pengawasan terhadap interaksi guru dan murid. Pendidikan seksualitas yang komprehensif harus mulai diajarkan sejak dini, agar anak-anak memiliki pemahaman yang cukup tentang batasan-batasan fisik dan emosional. Di sisi lain, kode etik guru perlu diperkuat dan penegakan hukum harus lebih tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Kasus di Gorontalo ini adalah pengingat bahwa kita semua---sekolah, orang tua, dan masyarakat---harus lebih waspada dan proaktif dalam melindungi anak-anak dari ancaman child grooming. Anak-anak adalah masa depan kita, dan sudah menjadi tanggung jawab kita untuk memastikan mereka tumbuh di lingkungan yang aman dan mendukung.

Dalam pandangan Patologi Sosial, kasus child grooming yang melibatkan seorang guru di Gorontalo dapat dipahami sebagai bentuk penyimpangan sosial yang terjadi akibat ketidakseimbangan kekuasaan dan hilangnya kendali sosial yang efektif. Patologi sosial mengacu pada perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai sosial yang berlaku, dan sering kali mencerminkan kerusakan atau masalah dalam struktur sosial. Kasus child grooming ini merupakan contoh nyata bagaimana ketimpangan relasi kekuasaan antara guru dan murid dapat disalahgunakan. Dalam masyarakat, guru memiliki peran sebagai sosok yang dihormati dan dipercaya untuk membimbing serta melindungi anak-anak. Namun, dalam kasus ini, sang guru justru menyalahgunakan kepercayaan tersebut untuk membangun hubungan yang melanggar norma dengan tujuan mengeksploitasi anak secara emosional dan seksual. Ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam nilai-nilai etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan.

Menurut teori patologi sosial, masalah ini tidak hanya terletak pada perilaku individu yang melakukan grooming, tetapi juga pada sistem sosial yang gagal mencegah penyimpangan tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya patologi sosial dalam kasus ini meliputi:

  1. Ketimpangan Relasi Kekuasaan: Guru memiliki otoritas lebih besar dibandingkan murid, sehingga mudah memanipulasi atau mengontrol korban. Ketimpangan kekuasaan ini memungkinkan guru untuk melakukan grooming tanpa terdeteksi secara langsung.

  2. Kegagalan Sistem Pengawasan: Sistem pengawasan di lingkungan pendidikan seharusnya berfungsi untuk mencegah interaksi yang tidak sehat antara guru dan murid. Namun, lemahnya pengawasan terhadap hubungan personal di sekolah memungkinkan terjadinya penyimpangan sosial ini.

  3. Lemahnya Kontrol Sosial: Kontrol sosial, baik formal (aturan dan hukum) maupun informal (norma dan budaya), tampak tidak berjalan optimal. Dalam beberapa kasus, korban tidak merasa nyaman melapor karena adanya ketakutan, rasa malu, atau stigma dari lingkungan sekitar. Ini mencerminkan lemahnya peran kontrol sosial dalam melindungi anak-anak dari ancaman child grooming.

  4. Distorsi Nilai Moral: Kasus ini juga menunjukkan adanya distorsi dalam nilai-nilai moral dan etika di lingkungan pendidikan. Guru yang seharusnya menjadi panutan justru menggunakan posisinya untuk tujuan yang salah, yang pada akhirnya merusak kepercayaan terhadap profesi pendidikan itu sendiri.

Dari perspektif patologi sosial, fenomena child grooming ini tidak hanya merupakan masalah perilaku individu yang menyimpang, tetapi juga cerminan dari kegagalan sistem sosial dalam menjaga keamanan dan integritas institusi pendidikan. Untuk mencegah kasus serupa, diperlukan reformasi dalam pengawasan, pendidikan etika profesi, dan kesadaran sosial mengenai pentingnya perlindungan anak dari ancaman kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun