2. Hambatan struktural, berupa kebijakan publik dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, khususnya terhadap perempuan. Â
3. Ketiga, hambatan interpretasi ajaran agama. Umumnya, interpretasi agama yang tersosialisasi luas di masyarakat masih belum ramah terhadap perempuan.Â
Dalam kasus ini, seolah tergambar dengan jelas bagaimana budaya patriarki mengkontrol seksualitas perempuan. Kominfo melabelli sebuah foto dengan tema ketubuhan sebagai tindakan melanggar kesusilaan, seolah justru melanggengkan pandangan bahwa perempuan adalah objek seksual. Hal ini semakin ironis, ketika sebuah perundang-undangan yang ada justru malah sebagai senjata pelengkap yang efektif untuk mendiskriminatif, sehingga penggunaan UU ITE dalam penerapannya semakin tidak jelas dan menyasar pada perempuan sebagai korbannya. Ini menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, kiranya perlu mengkaji ulang UU ITE pasal 27 ayat 1, hal ini untuk meminimalisir bias gender yang ada pada pasal tersebut, karena jika semakin diterapkan seakan bukan tidak mungkin UU ITE pasal 27 Ayat 1 akan digunakan kembali untuk mengintimasi perempuan lain atas dasar ketubuhan.
Daftar PustakaÂ
Buku :Â
Mulia, Musdah, 2015, Mengupas Seksualitas, Jakarta: Opus PressÂ
Jurnal :Â
Fujiati, Danik. Seksualitas Perempuan Dalam Budaya Patriarkhi. Muwazah : Jurnal Kajian Gender, [S.l.], v. 8, n. 1, jan. 2017. ISSN 2502-5368.Â
Website :Â
https://www.alinea.id/gaya-hidup/foto-tara-basro-bias-antara-pornografi-dan-body-positivity-Â b1ZJE9srcÂ
https://magdalene.co/story/yang-perlu-diketahui-tentang-dasar-dasar-feminisme