Saat ini telah memasuki akhir tahun 2024 di bulan Desember, yang menandakan sudah menghitung hari kita akan menginjak tahun 2025. Tahun baru tentunya diharapkan memiliki hal-hal yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Â Namun, beban ekonomi masyarakat Indonesia tampaknya akan semakin berat. Pasalnya, di tengah kondisi pengangguran yang tinggi dan upah yang murah, pemerintah berencana untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan jenis pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Kenaikan PPN diperintahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan PPN ini menjadi 12% dari yang awalnya 11% dan mulai berlaku pada awal tahun baru yaitu 1 Januari 2025 nanti.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, menjelaskan bahwa keputusan pemerintah menaikkan PPN didasarkan pada pertimbangan yang matang. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, serta menyesuaikan tarif dengan standar internasional.
Kabarnya tarif PPN sebesar 12% di tahun 2025 mendatang akan berlaku hanya untuk barang-barang mewah. "Barang-barang pokok dan berkaitann dengan pelayanan yang langsung menyeluruh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak yang sekarang yaitu 11 persen," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco dalam pernyataan pers pada Kamis (05/12/2024). Menurutnya PPN 12% akan diterapkan secara selektif dan menyasar pada pembeli barang-barang mewah saja.
Penerapan pajak 12% untuk barang mewah menuai beragam reaksi dari masyarakat Indonesia. Bagi sebagian kalangan, kebijakan ini dianggap tepat karena menyasar pada kelompok masyarakat dengan daya beli tinggi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara tanpa terlalu membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara itu, sebagian masyarakat juga mempertanyakan efektivitas kebijakan ini dalam mengatasi isu mendasar seperti penegakan pajak dan pengelolaan anggaran negara.
Sedangkan, di sisi lain, penerapan multitarif ini berpotensi menimbulkan kebingungan di antara pelaku usaha. Sebagai contoh, jika sebuah toko ritel menjual barang yang dikategorikan mewah dan barang biasa secara bersamaan, maka penjual harus menghitung tarif yang berbeda untuk setiap kategori barang. Hal ini dapat memperumit proses administrasi dan berpotensi menimbulkan kesalahan dalam perhitungan pajak.
Meski PPN 12% direncakan hanya dikenakan pada barang mewah, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang merasa bahwa kebijakan ini tetap membebani mereka. Masyarakat menilai bahwa pajak yang dibayarkan selama ini masih belum mampu untuk memakmurkan warga Indonesia. Mereka meragukan bahwa anggaran ini akan digunakan untuk kepentingan bersama, mengingat penyediaan fasilitas publik, pemerataan ekonomi, hingga jaminan sosial saat ini yang masih belum memadai. Â
Ribuan warga Indonesia menyuarakan penolakan terhadap rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan pada 2025 mendatang. Petisi online di platform Change.org telah mengumpulkan 14.543 tanda tangan hingga Rabu (27/11). Penolakan ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap potensi beban ekonomi tambahan yang akan mereka tanggung akibat kebijakan ini.
Banyak warga berpendapat bahwa kenaikan PPN akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, sehingga menekan daya beli masyarakat, khususnya bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah. Gelombang protes ini juga menunjukkan adanya kebutuhan untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan fiskal yang berdampak luas.
Kebijakan menaikkan PPN menjadi 12% ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan daya beli. Di tengah kondisi Upah Minimum Regional (UMR) yang cenderung kecil, sementara dengan pajak yang harus dibayarkan sangat besar, akan membuat daya beli masyarakat menurun karena harus berhemat ketika tertekan inflasi dan biaya hidup yang semakin tinggi.
Meski memiliki potensi tantangan, kebijakan ini dapat memberikan manfaat besar jika dikelola dengan baik. Pemerintah harus memastikan bahwa pendapatan tambahan dari kenaikan pajak benar-benar dialokasikan untuk program-program yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara akan menjadi kunci utama untuk meraih kepercayaan publik.