Mohon tunggu...
Siti Hartinah
Siti Hartinah Mohon Tunggu... Lainnya - Human

Seorang pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengkhianat Rasa

12 Desember 2020   10:57 Diperbarui: 12 Desember 2020   11:09 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              Mataku mengamati coretan-coretannya, "Mirip sekali dengan punyamu ini. Mungkin perbedaannya dari teknik menggambarnya. Kamu menggunakan tangan, aku menggunakan ini." Sedikit menyibak rok, aku melepas kaki robot yang terbalut sepatu kets. Dia mengalihkan atensinya, memerhatikanku. "Tuhan mengambilnya, Ia juga memberi lebih."

              Aku tersenyum. Yakin pendengarannya masih berfungsi dengan baik aku melanjutkan ceritaku, "Dulu aku atlet voli. Merasa voli adalah nafasku. Mendapatkan trophy merupakan suatu kebanggaan. Hingga suatu ketika aku cidera saat akan meuju tournament internasional. Namun aku paksa untuk berlatih terus-menerus tanpa memerdulikan kaki yang tak lagi sehat. Ada pembengkakan dan pembusukan di dalam yang akhirnya harus di amputasi. Cita-cita dan impianku hancur oleh ambisiku."

             "Aku terpuruk. Putus asa pasti. Itu sebuah proses penyesuaian." Aku menengok ke arahnya. "Tapi aku harus bangkit."

             Dia menatapku iba, "Orang tuaku meninggal. Saudara-saudaraku tak ada yang mau mengurusku. Teman club-ku tak ingin berteman denganku. Semua hanya datang saat senang dan pergi kala aku susah."

            "Tak semua orang jahat. Kamu hanya perlu membuka diri." Balasku.

             Dia terkekeh sinis, "Omong kosong."

            "Aku lumpuh, aku tidak bisa bermain sepak bola. Kesukaanku mengandalkan kaki, sedangkan kesukaanmu hanya mengandalkan tangan." Ucapnya membandingkan.

            "Setiap orang mempunyai cobaan hidup berbeda. Jika kamu senang membandingkan, diri tak akan merasa puas. Kuncinya, cukupkan dengan rasa syukur." Ucapku.

            "Sudah lama aku menyimpan dendam. Menutup rapat sensasi dari setiap rasa yang diciptakan oleh hati dengan wajah bengis dan kata-kata pedas sebagai tameng perlindungan diri. Apa aku bisa mengubahnya?" Tanyanya. Ada secercah bahagia setelah dia mengeluarkan unek-unek-nya

            "Biarkan mereka mendekat. Jangan terus mengurung diri. Bicaralah sesuai dengan apa yang kamu rasakan. Mereka pasti akan mencari cara untuk bisa sama-sama bahagia. Setiap orang diciptakan atas kelemahan dan kelebihan untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya."

            Bola matanya berlarian menatap mataku. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulut,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun