Mataku menangkap sosok anak laki-laki di balik jendela kamarnya. Menatap kegiatan yang kamu lakukan dengan penuh minat. Terbukti pada pandangannya yang berlarian mengikuti arah bola. Tapi dengusan kasar terus-terusan keluar dari mulutnya. Tangannya bertumpu pada dagu.
      "Sudah, aku lelah." Ucapku. Memilih duduk berselonjor di pinggir lapangan. Pohon rinfang dengan sukarela memberiku kenyamanan. Dahannya yang menjulang di kelilingi daun-daun yang lebat menambah kesejukan.
       Ekor mataku masih memerhatikannya. Mengapa dia tidak ikut bermain? Pikiranku mempermainkan tanya.
       Tidak ingin dibuat bodoh oleh perasaan kepo. Aku memilih beranjak. Berpamitan pada teman di samping yang langsung dijawab acungan jempol.
       "Hai." Sapaku.
       Dia sibuk memainkan tangannya di atas kertas. Mencoret tak tentu arah. Telapak tangannya sudah kotor terkena tinta. Rambutnya menjuntai menutupi telinga berantakan. Seperti tak pernah dijamah sisir.
       "Aku Lea." Tanganku terulur tanpa sambutan.
       "Kok gak gabung?" Tanyaku.
       Dia masih membisu. Memberikan tatapan tak suka diganggu.
       "Aku punya bingkisan buat kamu. Teman-teman sudah mendapatkan satu-persatu. Karena kamu bagian dari panti asuhan wisma ini, jadi ini untukmu." Ujarku meletakkan paper bag di depannya.
       "Hari ini aku senang. Ingin berbagi kebahagiaan dengan teman-teman yang ada di sini. Lukisanku terjual di lelang. Jujur aku bukan pecinta seni. Tidak mengerti unsur-unsur intrinsik yang membuat sebuah karya menjadi mengagumkan. Dilihat melalui mata telanjang orang awam sepertiku, itu hanya sebuah garis warna-warni yang berantakan."