Ketidakadaan akses publik ke dalam detil rincian transaksi perusahaan, menyebabkan perusahaan leluasa memodifikasi laporan keuangan. Bahkan perusahaan terbuka (Tbk) mungkin juga melakukan Transfer pricing. Bahkan Transfer pricing tidak hanya dilakukan antara pihakpihak yang memiliki hubungan istemewa. Transaksi antara perusahaan yang sama sekali tidak hubungan istimewa, juga bisa dilakukan under invoice, untuk mengecilkan omset penjualan.
Aturan PER-32/PJ/2011 menyatakan bahwa penentuan harga wajar (arm's length price ) bisa melalui metode perbandingan harga antara pihak non istimewa, resale price dan metode lainya.Â
Publik berhak mengetahui perusahaan yang mengemplang pajak. Kasus seperti ini pernah terjadi di Australia pada tahun 2004, antara perusahaan otomatif PMA jepang dengan otoritas pajak Australia. Dengan mengumumkan kasus transfer pricing ke publik, publik bisa melakukan tekanan oral ke perusahaan yang melakukan transfer pricing .
Praktik transfer pricing telah dilakukan di beberapa perusahaan multinasional di Inggris, contohnya Starbuck pada tahun 2011 tidak membayar pajak sama sekali dan mengaku rugi sejak tahun 2008, padahal telah berhasil mencetak penjualan sebesar 112 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.Â
Selama beroperasi di Inggris, Starbucks hanya menyetorkan pajak sebesar 6 juta. Sebagian besar keuntungan Starbuck telah dialihkan dari Inggris ke perusahaan cabang di Belanda dalam bentuk royalti Barford,
Permasalahan ini menjadi isu fenomenal yang mampu mencuri perhatian dari seluruh kalangan, terutama bagi otoritas perpajakan. Bahkan penelitian akhir-akhir ini telah menemukan bahwa lebih dari 80% perusahaan -- perusahaan multinasional melihat transfer pricing sebagai suatu isu utama Suandy (2011; 74).Â
Kemudian, Gunadi juga memperkirakan bahwa 60% dari wajib pajak di Indonesia melakukan praktik transfer pricing. Hampir semua eksportir di Indonesia melakukan transfer pricing sehingga kerugian negara mencapai 25% dari nilai ekspor (www.Ortax.org ). Indonesia praktek transfer pricing juga pernah dilakukan oleh PT Adaro Indonesia.
 PT Adaro menjual batu bara ke Coaltrade Services International Pte. Ltd. yang merupakan perusahaan afiliasi yang berada di Singapura. Harga transfer batubara tersebut berada di bawah harga pasar, lalu oleh Coaltrade batubara ini dijual kembali sesuai harga pasar. Tentu praktek transfer pricing yang dilakukan oleh PT Adaro ini sangat merugikan Indonesia karena pendapatan dan laba yang diperoleh PT Adaro di Indonesia menjadi lebih rendah.Â
Praktek transfer pricing ini terungkap karena ada kecurigaan terhadap dokumen laporan keuangan Coaltrade pada tahun 2002-2005. Dalam laporan keuangan tersebut, terlihat laba Coaltrade lebih tinggi dari Adaro. Bagaimana mungkin ini terjadi jika Adaro memiliki tambang yang besar tetapi memperoleh laba yang lebih sedikit (www.dpr.go.id).
Mengapa hal tersebut bisa terjadi, Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut menggunakan praktik transfer pricing untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Caranya tidak gampang. Akan tetapi, dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat memindahkan keuntungan di Inggris ke luar negri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Walaupun terlihat legal tetapi cara-cara seperti ini dianggap sebagai cara yang amoral.Â
Sebagaimana dikatakan oleh Margaret Hodge (anggota parlemen Inggris) ketika memanggil ketiga petinggi perusahaan tersebut, "Kami tidak menuduh Anda melanggar hukum, tapi kami menuduh anda telah berbuat amoral," Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain termasuk Amerika Serikat.Â