Mohon tunggu...
Siti Nurhalizah
Siti Nurhalizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jika untuk bermimpi saja kamu takut, maka kamu adalah orang yang tidak tahu arah masa depanmu.

Selanjutnya

Tutup

Book

Pertemuan Dua Insan dalam Novel "Cinta Tanah Air" karya Nur Sutan Iskandar

5 Mei 2023   07:43 Diperbarui: 5 Mei 2023   19:56 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          

          Nur Sutan Iskandar adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909, Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta.

          Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang dijabatnya 1942-1945. Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. 

          Salah satu karyanya yang terkenal pada masa itu adalah novel Cinta Tanah Air. Novel ini menceritakan tentang seorang pemuda berusia 24 tahun yang sedang menunggu trem. Anak muda itu bernama Amiruddin, berpakaian putih bersih dan bersepatu hitam mengkilap. 

          Hari pun sudah senja, namun trem belum datang juga. Becak pun tidak ada yang kosong dan kendaraan-kendaraan lain tidak tampak. Tidak lama kemudian trem pun datang, ia pun segera bergegas menaiki trem tersebut. Di dalam trem ia berbicara dengan orang yang berada disampingnya.

          Segala gerak-geriknya diperhatikan oleh seorang perempuan yang duduknya agak jauh. Pandangannya begitu melekat terhadap Amir. Perasaan hati tergambar di matanya. Ketika Amiruddin tidak sengaja memandang pula kepadanya, beradulah mata keduanya. Hanya sebentar saja, lalu menundukkan kepala masing-masing. 

          Hati Amiruddin berdebar-debar dengan kencang. Mukanya menjadi merah dan pucat berganti-ganti. Karena gugup, ia meraba saku dibajunya, diurut-urut kaki celananya dan memperbaiki tali sepatunya.

          Sementara itu terdengarlah suara riuh di luar dan di dalam trem itu, sepasukan anak-anak sekolah masuk ke trem. Di atas Sungai Ciliwung yang lebar lagi lurus terbentang plakat dari kain putih yang bertulis berbagai semboyan

"Sekutu mesti hancur.

Asia Raya Bangkit.

Indonesia! Bela tanah airmu!"

          Angan-angannya melayang ke masa yang akan datang, ke masa Indonesia berbahagia dalam lingkungan kemakmuran bersana di Asia Timur Raya. Perasaan Amiruddin bergelora, berkobar-kobar seperti api yang menyala-nyala, sebab disiram minyak ... Cinta tanah air.

          Akan tetapi, perasaan itu terganggu pula sebentar, ketika pandangannya pada perempuan tadi. Amiruddin merasa heran, apa penyebab ia tidak terpedaya oleh satu pandangan. Padahal ia sudah bukan usia muda yang sedang memikirkan cinta.

          Dalam pertemanannya ia banyak bergaul dengan gadis-gadis di bandung. Akan tetapi ia belum pernah tergoda seperti memandang perempuan itu. Paras perempuan itu tidak bisa hilang dari ingatannya, bahkan berbagai pandangan indah pada malam itu tidak ada yang menarik hatinya.

          Ketika di pasar malam, Amir pergi ketempat jahit. Tanpa disengaja ia bertemu dengan perempuan yang beradu mata dengannya di dalam trem. Ia pun bersama-sama memesan saputangan untuk diberikan nama, ia pun mengetahui nama perempuan tersebut. Ketika perempuan itu hendak mengambil saputangannya, ternyata sudah dibayar oleh Amir. 

          Keesokan harinya, Amir pergi ke sebuah kedai bersama Harjono, mereka memandang ke layar putih yang sedang memutar film perang yang sangat dahsyat. Kemudian ada ada lelaki separuh baya datang menghampiri kursinya. Lelaki paruh baya itu duduk disamping Amir. Lelaki paruh baya itu bernama Soewondo, ia merupakan sahabat ayah dan ibu Amir. Mereka pun saling berbincang, dan pak Soewondo mengundang Amir untuk datang kerumahnya.

          Pada pagi hari ia pergi ke rumah pak Soewondo yang kemarin bertemu. Ketika dirumah pak Soewondo, ia dikenalkan dengan istrinya yang bernama Sutinah. Pak Soewondo bercerita tentang ayahnya amir dan peristiwa penjajahan belanda, tidak lama kemudian ada seorang gadis berpakaian kepanduan KBI dan bersepeda masuk ke dalam pekarangan. Gadis itu ternyata Astiah, ia menghampiri pak Soewondo dan istrinya, kemudian memberikan hormat kepadanya. 

          Amir sebagai terpaku dikursi. Tiada bergaya lagi, hilang kekuatannya. Berdebar-debar hatinya dan peluh dingin merengat di dahinya. Gadis tadi masuk ke dalam rumah dan memandang kepada tamu. Mau tidak mau Amir pun mengangkat kepala dan memberi hormat. Gadis itu pun membalas hormatnya. Beberapa lama kemudian Amir pamit hendak pulang, Kemudian Nyonya Soewondo memberikan bingkisan sebagai oleh-oleh untuknya.

          Sesampainya dirumah ia masuk ke dalam kamarnya dan segera membuka bungkusan kecil. Ada didalamnya saputangan yang bermerek namanya, serta secarik kertas yang berisi surat dari Astiah. Kemudian Amir mengirim surat kerumah pak Soewondo, dan menitipkan salamnya kepada Astiah. Astiah pun bercerita kepada orang tuanya, bahwa ia sebelumnya sudah bertemu dan mengenal Amir. 

          Beberapa lama kemudian, pak Soewondo dan istri datang ke rumah Amir di Bandung. Mereka datang untuk melepas rindu kepada ibu dan adiknya Amir. Tiada beberapa lama, Nyi Zubaidah menuntut anaknya hal akan beristri. Karena rahasianya telah diketahui oleh ibunya, yaitu tentang gambar Astiah. Kemudian dengan segera Nyi Zubaidah mengutus orang ke rumah Mas Soewondo. Akhirnya diperoleh keputusan demikian: Orang tua Astiah setuju akan lamaran itu, apabila Astiah suka.

          Pada hari minggu Amir pergi ke Jakarta, kemudian ia pergi ke rumah pak Soewondo. Pertemuan itu sangat memuaskan hati kedua belah pihaknya. Mereka sudah dapat mengukur dalam dangkal batin masing-masing. 

          Sebulan kemudian, ia mengajak Astiah pergi untuk melihat-lihat kota. Sepekan kemudian, Astiah dimintai oleh Nyi Zubaidah akan menjadi menantunya. Permintaan itu diterima dengan senang hati dihadapan keluarga dan sanak saudara. Pertunangan ini takkan lama, karena akan segera disusul dengan pernikahan.

         Sementara itu tanah air dalam kondisi tidak aman, Nippon sangat kukuh untuk menjajah Indonesia. Amir seperti mendapatkan anugerah Ilahi untuk memperjuangkan tanah air. Kemudian ia dan teman-temannya mendapatkan surat kabar yang menyatakan bahwa mereka bisa ikut menjadi prajurit pembela tanah air. 

         Amir teguh pendirian untuk mendaftar sebagai prajurit. Namun, ia juga berpikir bagaimana dengan ibu, adik, dan tunagannnya itu. Setelah banyak pertimbangan, ibu, adik, dan tunagannya merestui agar Amir menjadi prajurit di medang perang untuk membela tanah air. Disamping itu, Harjono sahabat Amir yang telah menikah tidak diizinkan istrinya bergabung dalam prajurit.

          Bertambah ragu hati Amir ketika ia memikirkan Astiah, takut ia akan membuat Astiah bersedia karena Amir seorang pasukan pembela tanah air yang derajatnya sangat rendah pada masa itu. Dan meskipun Amir akan maju ke medan perang namun itu tidak membuat penghalang cintanya kepada Astiah dan bergitu juga dengan Astiah. Astiah juga berbuat hal yang sama dengan Amir, Astiah maju ke medan perang sebagai juru rawat.  Keduanya mempunyai rasa rela berkorban demi bangsa dan negara. 

          Beberapa hari sebelum menuju medan perang keduanya melangsungkan pernikahan dengan sederhana. Amir dan Ruk yang sangat bahagia disertai kedatangan para sahabat Amir dan temannya.  Usai menikah Nyonya Soewondo dan Nyi Zubaidah akhirnya juga merelakan kedua anak mereka berangkat ke medan perang untuk melaksanakan bakti mereka atas cinta tanah air.

          Novel ini memiliki kelebihan yaitu, ceritanya  sangat menarik, terutama untuk para pemuda-pemuda Indonesia untuk memiliki rasa cinta tanah air. Nilai nasionalisme, persahabatan, kekeluargaan, dan percintaan begitu elok disampaikan. Bahasa yang digunakan mudah dipahami, dan ceritanya tidak membuat bosan.

          Setiap kelebihan pasti ada kekurangan, dan novel ini juga memiliki kekurangan. Yaitu, memiliki beberapa kata yang sulit dipahami oleh pembaca, karena novel ini dibuat pada masa lampau. Sehingga bahasa yang digunakan sulit dipahami oleh generasi z.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun