Mohon tunggu...
Siti Nuraini
Siti Nuraini Mohon Tunggu... Diplomat - Hanya seorang hamba

Baru belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | How This Life Gonna Be Broke

2 Oktober 2019   17:20 Diperbarui: 2 Oktober 2019   17:27 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga ratus---enam puluh---derajat. Perubahan akan membuatmu yakin akan penghidupan selanjutnya, bila kamu menikmati rasa sakit. Poor Lady, itulah panggilanku. Di dalam ruangan berwana putih bercahaya. Seseorang duduk di depanku dan bertanya sesuatu. Ada dua hal yang perlu kutanyakan dan kudengar darinya. Entah, aku meragukan orang ini, tetapi sekarang ia adalah dokterku. Aku tidak butuh Dubai. Aku tidak butuh penghargaan dengan pujian-pujian yang tidak akan mengubah apa pun, melainkan akan membuat mabuk dan tidak ingat apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menanyakan hal yang sangat konyol. "Ini orang membuatku letih untuk menjawabnya," bisikku pada Ayah.

"Hidup ini menjadi tidak normal bagimu?" tanya Ayah kemudian.

"Siapa yang akan menganggap hidup ini adalah sesuatu yang normal. Aku bersembunyi di dalam kepalsuan. Semua ini aku lakukan selama aku masih bisa membangun bangunan di atas jantungku. Hidup ini tidak semudah kedengarannya."

"Kamu tidak normal, Nak," kata Ayah tiba-tiba. Perkataan itu membuatku ingin marah, karena aku sama sekali tidak tahu alasan Ayah membawaku ke dokter syaraf, sedangkan ia sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang dialami anaknya? Aku mengangguk sambil membungkamkan kedua bibirku. Aku menahan tangis. Emosiku mungkin tidak terkendali. Aku sangat cepat menangis. Namun, di satu sisi aku percaya, kalau orang menangis tidak pernah tanpa alasan... Semua memiliki alasan. Hingga bibirku berdarah, karena aku menggigitnya sepanjang waktu...

***

"Aku diterima di UI. Kemarin aku menyerahkan surat pengundurandiriku ke balai kota." Semua orang tercengang. Ramli menyenggolku. "Setidaknya mereka bisa sombong sekarang." Aku masuk ke dalam kamar. Membaca buku yang hanya tersisa Halaman 349 membuatku sedikit terganggu untuk menyelesaikannya. Ibu memanggilku dari luar kamar untuk mendapatkan setidaknya satu potongan biscuit yang langsung diangkat dari oven dan segelas the serta susu hangat di siang hari yang berubah menjadi keceriaan di wajah Ibu. Aku keluar, dan tiba-tiba Ibu memelukku... Aku tidak ingin memberitahu kamu apa yang kemudian terjadi padanya...

12 April 2018

"Aku akan mewakili Indonesia ke Thailand untuk membawa isu Papua, padahal aku ini seorang mahasiswi yang putus sekolah, karena kedengkian seseorang terhadap hidupku," kataku pada Ramli. Walau dia temanku, aku tidak pernah sungkan untuk menuduhnya, karena suatu saat nanti dia bisa saja jadi musuh terbesarku. "Ramli, kamu senang berkawan denganku. Aku selalu penasaran... Kenapa kamu tidak berteman dengan orang lain yang lebih menunjang kepribadianmu supaya kamu tidak menjadi pembenciku nanti."

Ramli tersenyum kecil. "Aku tidak mungkin membencimu."

"Kamu bisa saja."

Mad world. Aku tidak memahaminya. "Aku baru pulang mengajar," katanya, "seperti yang selalu aku lakukan." Aku terdiam, kemudian ia melanjutkan, "Aku tidak akan mengubah apa yang sedang aku sukai. Kamu seorang mahasiswa... Kamu harus belajar dengan baik, sehingga kamu bia membantuku suatu saat nanti."

***

"Kau mau kubantu?" tawarku pada Ramli, ketika ia hendak memindahkan meja di ruang tamu ke belakang rumah.

"Tidak perlu sungkan," katanya sambil mendongak. Ia kemudian tersenyum, "Kamu bisa menarik ujung itu untuk ditepikan di sebelah vas bunga." Aku tertawa. Dia pun mengikuti arah pandangku. Bunga sepatu berwana merah muda dan putih dicocokkan dengan vas bunga berwarna cokelat tua. "Apa yang kamu tertawakan, huh?" Dia pun ikut tertawa dengan keheranannya. Aku menggelengkan kepalaku. Dia pun tidak henti-hentinya tertawa melihat tingkahku. "Kamu ini ya..."

Dia pun sedikit mendekatkan diri ke arahku berdiri. "Hem," aku sedikit terbatuk, "aku akan segera kembali." Aku meneguk beberapa gelas air, kemudian melihat ke luar jendela. Matahari terbit dan senyuman angin yang membentuk awan-awan, sehingga terlihat jernih dan tanpa burung yang berterbangan di atasnya. "Maukah kau melihat awan ini, Ramli. Ada sesuatu yang aneh di dalamnya," kataku padanya. Ramli yang terlihat terdiam sambil menunggu pintaanku datang langsung menemuiku di belakang rumah.

"Ini baru konyol namanya," katanya. Kami melihat ada secercah cahaya yang menembus awan. Namun, cahanyanya terpatah. Matahari tepat berada di bawanya, tetapi sinarnya malah seperti tertembus bukan berasal dari mataharinya. Namun, seperti ada cahaya yang berada di balik awan itu. Bukan dari mataharinya. Ramli terdiam sambil memandangiku. Laki-laki tidak mungkin mau jujur dengan perempuan yang dia suka...

***

Hingga matahari tidak lagi menemani pagiku. Aku kehilangan dia yang sekarang entah ke mana. Aku tidak pernah takut untuk menyukainya, tetapi dia akhirnya menghilang, karena seharusnya itu yang dia lakukan, sebelum terlambat. Aku dibawa ke rumah sakit. Syarafku tidak akan bertahan lebih lama lagi. Kematian seperti mengintaiku sepanjang malam. Aku tidak yakin mengapa sebuah cerita tragis bisa membawaku bernostalgia untuk mengingat cara manis pria muda itu. Aku hanya ingin mengatakan satu hal padanya, bila ia tidak bisa tidur, karena memikirkanku...

Aku tidak bisa mengubah takdir ini. Aku menganggap seperti ini dan berusaha meyakinkan orang lain seakan-akan aku mengerti dengan apa yang terjadi. Sinar matahari tidak lagi membantuku untuk hidup kembali. Ia tidak lagi bisa membuatku bangkit dari tidurku. Semua ini sama sekali tidak berarti apa-apa. Semua untaian penghidupan dan awasan yang bersifat sangat tertutup... Aku berdiri di balik layar temeram. Semua memandangiku seperti satu-satunya orang aneh yang masih tersisa di muka bumi. 

Hingga akhirnya aku tersungkur dan tidak bisa menahan napasku. Pikiranku terhenti. Aku melihat langit menjadi merah. Tidak ada lagi yang aku tunggu, selain menyebut nama-Nya dan mengakhiri kehidupan konyol ini... Sinar matahari dan sayap malaikat yang selalu membantuku keluar dari masalah... Aku terjatuh dari mobil, kemudian aku berguling ke arah tanah yang basah... Kakiku dan sikuku robek dan daripadanya mengalir darah yang begitu beras. Wajahhku memucat. Inilah yang akan terjadi, bila aku sakit, Ramli... Kamu akhirnya membenciku... Aku tidak pernah mau mengenalmu... Namun, aku heran kenapa kamu akhirnya datang dan mengatakan semua itu, sehingga lihatlah kekecewaan ini sekarang...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun