"Aku percaya denganmu," dia mendeham, "dan aku berikan dua bulan untukmu dalam menyelesaikannya."
"Ini sangat mudah," kataku.
Ulang tahunku sebentar lagi. Hari ini aku sudah mengulannya hampir beberapa kali. Apakah hari ulang tahunku kali ini akan menjadi hari ulang tahun terburuk yang akan aku alami? Aku tidak ingin berkata seperti ini, karena aku memang sedang diuji sangat keras oleh-Nya. Dua tahun yang lalu... Aku merasa berbeda dengan apa yang aku rasakan saat ini. Saat itu, aku cukup terkenal. Aku tidak perlu berbohong untuk menemukan kebahagiaanku.
 Aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Aku berjalan dengan siapa diriku dan aku menerima itu apa adanya. Siena, perempuan yang kucintai tidak tahu akan ini. Siena yang indah. Wajahnya tunduk dengan mata jernih yang berusaha ia sembunyikan dariku. Aku tidak lagi seekor singa. Aku hanya seekor anjing penjaga yang tidak pernah diberi makan. Aku sangat kurus dan sakit-sakitan. Karena kamu, aku jadi menghindar dari orang yang selama ini aku cari di dalam hidupku..., dan ternyata ketika aku menemukannya, wajahku tidak utuh lagi seperti dulu. Aku sangat khawatir kau akan membenciku, karena aku tidak lagi berwujud seperti manusia...
***
Dua bulan berlalu. Aku masih ketakutan. Kepalaku dipenuhi kebodohan yang kian menjadi-jadi. Aku berpikir tentang sesuatu yang menyulitkan diriku sendiri. Namun, kau tahu, satu-satunya alasan kenapa kamu masih hidup adalah Tuhan ingin membenarkan otakmu... Tidak sepertiku. Penghayal saat SMA, bahkan aku tidak pernah takut tersenyum kepada siapapun. Aku tidak pernah malu untuk tersenyum pada Siena dan mengingatkannya, bahwa cintaku masih untuknya. Aku tidak pernah berubah, walaupun aku tidak seperti manusia lagi. Aku anjing yang kelaparan dan sangat kurus...
"Kamu bisa melewati ini," dia mendeham, "aku percaya padamu..."
Dentuman besar menghancurkan tubuhku. Aku tersiksa di dalam jiwa yang mati. Aku memberontak dan kuyakin tidak ada yang mendengarkanku. Aku marah di dalam diriku, tetapi tangisku malah membuat orang tertawa melihatku. Ini permainan yang paling tidak kusuka di dalam hidupku. Ketika aku menemukan Siena bingung untuk pertama kalinya dan membuatnya berhenti berharap padaku. Dia pacaran dengan orang lain, di kala aku terjebak di dalam ruangan gelap dan lembab ini. Apakah aku menitipkan dosa untuk diriku sendiri sehingga aku tidak yakin tentnag apa yang kuhadapi saat ini?
"Kamu bisa melewati ini," katanya lagi...
"Aku percaya padamu...," lanjutnya.
Sesuatu yang paling aku takutkan adalah ketika aku harus sendiri... Aku bertiak, tetapi tidak ada kesempatan sekali saja yang datang kepadaku untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi... Siena, apakah kau masih mencintaiku?
25 Mei 2016
Di Melbourne bersama kakak tertuaku.
Udara hangat yang bertiup dari arah barat pulau kecil di Selat Timor. Aku duduk bersama kakakku dengan secangkir wine muda. Aku bilang kepadanya, kalau aku sebenarnya tidak bisa minum. Namun, dia beranggapan sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan di depan orang tua. Di Jakarta kami tidak banyak bertingkah aneh. Dia tampak sebagai pelajar rajin dan bersahaja, ketika disambut pulang dari Darwin. Dia, Siena. Kehilangan pacarnya, ketika ia masih berusia 16 tahun di Melbourne. Dia telah melukai perasaan kakakku selama beberapa tahun belakangan ini.
***
"Siena Baumann..."
Siena tersenyum. "Kamu menakutiku dengan senyummu itu."
Robbie tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Aku hanya sedang menebak siapa nama lengkapmu, karena aku tidak salah mengeja... Kemarin namamu masuk ke dalam berita utama kampus. Ternyata, ya... Kamu ini berbakat sekali melukis. Aku tidak menyangka hidup ini begitu indah tercipta, karena ada gadis muda yang berusaha membuatnya semakin indah dengan senyum dan gigitan buah apel merah di pipinya."
Siena semakin malu-malu. Robbie merobek ujung bindernya menjadi bagian yang kecil-kecil. Ia mencoba menuliskan sehuruf demi sehurup pada serpihan kertas dengan cermat menekan tinta polpennya. "Aku kadang sangat sulit untuk mengungkapkan perasaanku kepada orang yang kusuka," gumamnya. Siena benar-benar tidak bisa berpikir jernih dengan apa yang dikatakan Robbie. Pria muda itu pun tertawa kecil. Ia mengumpulakan serpihan-serpihan itu di kedua telapak tangannya dan meniupkannya ke arah wajah Siena... "Tebak apa yang aku tuliskan untukmu..."
"Kamu menuliskannya perhuruf... Aku tidak mengerti..."
Begitulah hidup itu... Kamu tidak akan mudah mengartikannya semaumu. Kamu punya beban di benakmu. Itu tidak datang dari masalah yang kamu buat. Itu datang dari takdirmu yang menghendaki hal baru terjadi di dalam hidupmu... Sesuatu yang tidak kamu sangka-sangka... "Aku mengerti, Siena. Kamu pun mengerti." Mereka berhenti berbicara sejenak. Udara yang kering namun dingin menyapu rambut halus Robbie yang kecokelatan. Dia masih tersenyum. Matanya bagaikan busur panah yang menjurus lurus ke arah kekasihnya itu.
***
"Aku seorang imigran, kamu tahu itu?" Siena tertawa, lalu mengangguk. Robbie akhirnya tersenyum kecil melihat tingkah Siena yang malu-malu, tetapi akhirnya ia mendeham dan mencoba terlihat serius lagi. "Ini adalah ide yang paling bodoh yang pernah kudengar, ketika ada suatu negara yang akan mengusirku, karena aku bukan bangsa negara itu. Bukankah manusia itu tidak tumbuh seperti lumut di pegunungan? Bukankah aku dan kamu memang awalnya satu, Siena? Aku memang tidak habis pikir dengan gaya pemerintahan negara ini..." Aku melihat hantu di matamu. Kamu menggetarkan lenganmu untuk membuatku yakin, bahwa kamu bisa berkomunikasi dengan dunia mereka dan... Siapa mereka? Siapa temanmu berbicara?
"Apaakah itu terlalu mengganggumu?"
Robbie akhirnya tersenyum. "Tidak, Siena." Robbie pun terdiam, tetapi ia kemudian melanjutkan, "Itu akan sangat menjengkelkan, bila aku harus mati, karena kesalahpahaman ini... Kita ini bodoh, tetapi tetap mau berada di dalamnya." Robbie menarik lengan Siena. Ia menghentikan perjalanan mereka di tengah taman. Siena menatap Robbie dengan tenang dan berusaha mendengarkannya. Namun, pria muda itu pun akhirnya menegakkan tubuhnya, setelah ia sedikit condong ke arah perempuan itu. Siena mendeham. "Apakah aku terlihat seperti anjing yang melihat tulang?" Siena terdiam. "Apakah aku mengerikan? Apakah kamu takut denganku sekarang?" Aku gelisah, Siena...
5 September 2019
Tolong lindungi aku. "Apakah Anda sangat sering mendebat sesuatu yang konyol belakangan ini? Kenapa?" Erick bertanya kepadaku. Ia harus mengatakan kata "Anda" itu sekarang. Dia adalah teman semasa SMA. Sangat aneh dan culun. Namun, sekarang lihatlah rambutnya yang tertata rapi itu. Dia pun mendeham. Pria yang lahir di Bengkulu, Indonesia itu membuatku membenci gaya gotik untuk seorang pria maskulin. Ia akan tampak seperti seorang pria jantan yang tertarik dengan ide homo seksual dengan penampilan apik, yang tidak lagi mencirikan seorang pria yang tidak pernah mengganti baju dalamnya selama beberapa dekade. "Apakah aku harus berpura-pura, Bobby?
Aku tertawa. "TIdak, Kawan," kataku sambil menggelengkan kepala. "Kamu tahu, aku hanya seorang pembisnis gagal. Aku melakukan ini didasarkan alasan yang aneh. Ada sesuatu yang mendorongku untuk melakukannya, padahal aku tidak bisa senang dengan melakukan apa yang aku tidak suka. Kamu tahu, aku sangat suka Pegunungan Alpen dan segelas anggur muda dari Austria. Semasa SMA aku berkeinginan untuk menghabiskan waktu bersama Siena, tetapi lihatkah aku sekarang. Aku menjadi seorang pendeta dengan alasan yang aku tidak tahu."
"Kamu masih terlihat nakal, Kawan," kata Erick kemudian, "kamu masih terlihat kacau." Robbie pun tersenyum dengan perkataan temannya itu.
"Aku takut meragukanmu...," katanya akhirnya, "aku kembali besok atau lusa. Aku harus melihat matahari terbenam di pantai mediterania sore ini." Erick hanya bisa menahan emosinya. Aku keluar dan menghentikan langkahku, ketika matahari menerpa wajahku. Aku tersesat...
Cinta akan membuatmu mengerti. Bukan untaian waktu... Namun, kamu akan mengerti, walau itu hanya sebatas serpihan-serpihan kertas yang menyapu wajah cantikmu... Siena, aku khawatir kau tidak mencintaiku lagi. Bahkan perjalanan yang panjang membuatku lupa akan dirimu, walau aku tidak ingin melepaskan tempurung kepalaku untuk mencuci habis kenanganku bersamamu...
Mengangguklah, Siena... Ya, seperti itu... Seperti itu, dan kamu akhirnnya tidak tahu dengan apa yang selama ini aku sembunyikan darimu... Siena, kamu masih mencintaiku, kan? Siena, bantu aku membangun rumah kenanganku... Aku tahu, kalau perjalanan ini membuatku letih, tetapi kamu tahu, kan? Aku tidak mungkin berhenti... Ini akan selamanya berlanjut... Bangunkan aku rumah untuk istirahatku... Namun, aku tidak tahu kapan aku akan berhenti berputar di tempat yang sama dengan pikiran yang melahap habis dunia ini...
29/09/2019
Siti Nur'aini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H