25 Mei 2016
Di Melbourne bersama kakak tertuaku.
Udara hangat yang bertiup dari arah barat pulau kecil di Selat Timor. Aku duduk bersama kakakku dengan secangkir wine muda. Aku bilang kepadanya, kalau aku sebenarnya tidak bisa minum. Namun, dia beranggapan sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan di depan orang tua. Di Jakarta kami tidak banyak bertingkah aneh. Dia tampak sebagai pelajar rajin dan bersahaja, ketika disambut pulang dari Darwin. Dia, Siena. Kehilangan pacarnya, ketika ia masih berusia 16 tahun di Melbourne. Dia telah melukai perasaan kakakku selama beberapa tahun belakangan ini.
***
"Siena Baumann..."
Siena tersenyum. "Kamu menakutiku dengan senyummu itu."
Robbie tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Aku hanya sedang menebak siapa nama lengkapmu, karena aku tidak salah mengeja... Kemarin namamu masuk ke dalam berita utama kampus. Ternyata, ya... Kamu ini berbakat sekali melukis. Aku tidak menyangka hidup ini begitu indah tercipta, karena ada gadis muda yang berusaha membuatnya semakin indah dengan senyum dan gigitan buah apel merah di pipinya."
Siena semakin malu-malu. Robbie merobek ujung bindernya menjadi bagian yang kecil-kecil. Ia mencoba menuliskan sehuruf demi sehurup pada serpihan kertas dengan cermat menekan tinta polpennya. "Aku kadang sangat sulit untuk mengungkapkan perasaanku kepada orang yang kusuka," gumamnya. Siena benar-benar tidak bisa berpikir jernih dengan apa yang dikatakan Robbie. Pria muda itu pun tertawa kecil. Ia mengumpulakan serpihan-serpihan itu di kedua telapak tangannya dan meniupkannya ke arah wajah Siena... "Tebak apa yang aku tuliskan untukmu..."
"Kamu menuliskannya perhuruf... Aku tidak mengerti..."
Begitulah hidup itu... Kamu tidak akan mudah mengartikannya semaumu. Kamu punya beban di benakmu. Itu tidak datang dari masalah yang kamu buat. Itu datang dari takdirmu yang menghendaki hal baru terjadi di dalam hidupmu... Sesuatu yang tidak kamu sangka-sangka... "Aku mengerti, Siena. Kamu pun mengerti." Mereka berhenti berbicara sejenak. Udara yang kering namun dingin menyapu rambut halus Robbie yang kecokelatan. Dia masih tersenyum. Matanya bagaikan busur panah yang menjurus lurus ke arah kekasihnya itu.
***