Mohon tunggu...
Siti HaryaniM
Siti HaryaniM Mohon Tunggu... Mahasiswa - KKN MIT DR-13 Kelompok 32

KKN MIT DR 13

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang yang Nyatanya Permainan

28 Februari 2022   10:27 Diperbarui: 28 Februari 2022   10:31 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Minggu ini sejak tanggal 24 Februari 2022 dunia dibuat heboh setelah Rusia melakukan invasi  militer ke Ukraina. Hal ini dilakukan setelah Rusia gagal dalam menuntut Ukraina agar tak menjadi bagian dari NATO, hal ini bisa dikatakan sejalan dengan invasi yang telah dilakukan 2014 silam namun kali ini invasi militer yang dilakukan disertai dengan serangan yang mampu menciptakan kekacauan besar. 

Namun, terlepas dari masalah utama tersebut, konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina memiliki akar sejarah yang begitu panjang. Ukraina adalah pihak yang diserang sehingga muncul pertanyaan, "Apakah benar Ukraina adalah korban?" 

Jawabannya bisa ya, bisa pula tidak, yang jelas baik pihak yang diserang maupun yang menyerang keduanya sama-sama dirugikan dan menjadi korban atas permainan yang dituggangi pihak Amerika.

Kekuatan Rusia jelas jauh lebih besar, jadi dengan cepat Rusia bergerak menguasai Ukraina, namun dalam serangan yang dilakukan, Presiden Rusia yakni Putin memasang strategi yang cukup manusiawi, sebab dalam serangannya lebih difokuskan di bagian militer dan berusaha menghindari pemukiman. 

Di tengah musim dingin yang harusnya menusuk tulang, warga Ukraina malah dibuat teramat cemas dengan keadaan yang ada. Namun, Putin tampak masih memiliki hati, ia tak merusak bagian listrik dan air sehingga penunjang kehidupan bagi Ukraina masih ada, karena jika listrik mati, penyebab binasanya Ukraina bukan lagi serangan dari para pihak militer melainkan karena kedinginan. Hari pertama saat invasi tak ada dukungan yang datang di pihak Ukraina. 

Karenanya Presiden Ukraina Zelensky memanggil warga umur 18-60 tahun untuk berperang, lantas dia sendiri merencanakan untuk mengungsi dengan bantuan Amerika. Namun, rencana tersebut diketahui pihak umum.

Sejalan dengan kejadian yang kian memanas, Presiden Ukraina memberlakukan kondisi darurat militer. Opininya, pesan ini bisa menyeret ke perang besar se-Eropa. Bisa disimpulkan bahwa, sang presiden berusaha memperluas pertikaian, menyeret negara-negara lain untuk ikut. 

Melihat keadaan yang semakin terjepit, Presiden Ukraina kala itu menghubungi Presiden Amerika untuk meminta bantuan. Namun karena sudah dini hari, Biden hanya bisa membuat janji yang katanya akan didiskusikan besoknya. "Besok, saya akan bertemu dengan para Pemimpin G7, dan Amerika Serikat serta Sekutu dan mitra kami akan menjatuhkan sanksi berat kepada Rusia.  

Kami akan terus memberikan dukungan dan bantuan kepada Ukraina dan rakyat Ukraina." Namun pernyataan ini berakhir menjadi sebuah janji semata karena keesokan harinya, taka da pergerakan apa-apa.

Dalam sebuah acara, seorang reporter bertanya kepada Biden, "Apakah Anda menyepelekan Putin?" Tak diberi jawaban, ia hanya menyeringai seolah menjawab bahwa ia memang menyepelekan Putin. Tampaknya, Amerika tak belajar dari masa lalu yakni meremehkan lawan. Harusnya, Biden belajar dari kekalahan memalukan dia atas kekalahannya dengan Taliban.

Lalu mengenai langkah Zelensky yang diambil di hari selanjutnya yakni memutuskan hubungan diplomatik dengan Rusia. Kedubes Rusia di Kiev sudah dikosongkan dan bendera telah diturunkan. 

Hal mengejutkan datang, dalam jumpa pers yang dilakukan Biden hari itu, ada tiga hal penting yang disampaikan yakni, Amerika tidak menjatuhkan sanksi pada Putin secara pribadi, Amerika tidak mencabut Russia dari jaringan SWIFT, dan Amerika tidak akan masuk Ukraina. 

Kesimpulannya, Ukraina dikorbankan. Ukraina harus menjalani mimpi buruk yang diawali dengan janji Amerika yang konon berdiri di belakangnya. Zelensky meratap, "Ukraina ditinggal oleh Barat sendiri, tidak ada yang membantu ketika meminta tolong."

Ukraina semakin terkepung dan muncul pertanyaan di benak publik, "Apakah kedua belah pihak akan bernegosiasi kembali?" Bisa saja iya. Sebab mampu dilihat bahwa, tujuan utama Putin memang memperlihatkan kemunafikan pihak NATO dan Amerika. 

Dalam dua hari, itu semua sudah tercapai, Rusia berhasil menunjukkan muka asli pihak yang sudah membuai Ukraina dengan janji. Namun nyatanya tak semudah itu, Zelensky dengan pandai mencari perhatian dunia dengan menyorakkan kepada dunia bahwa ia ditinggalkan oleh negara-negara Barat. Karenanya, Barat malu, mereka kembali mempertimbangkan sanksi berat yang hendak ditujukan kepada Rusia. 

Negosiasi yang sempat ingin tercipta yang ada berakhir tergantung sebab Zelensky mungkin merasa tiba-tiba di atas awan setelah mendapatkan angin sepoi-sepoi atas pertimbangan tersebut.

Zelensky seolah mendapatkan pijakan, Rusia dicabut dari SWIFT. Namun, mengapa setelah menyatakan ingin bernegosiasi tiba-tiba dibatalkan? Semua tidak terjadi begitu saja, ada yang menungganinya, ada yang menjadi dalang permainan. 

Dari sudut pandang penulis, Amerika ingin perang berkepanjangan terjadi di Ukraina sebab jelas ia akan diuntungkan dari hal ini sama dengan diuntungkannya dia di Perang Dunia Kedua. 

Mengenai kabar pihak Ukraina yang membatalkan keinginan untuk negosiasi, hal itu disangkal. Sekretaris Pers Selensky menyatakan bahwa, "Konsultasi sedang berlangsung tentang tempat dan waktu negosiasi dengan Rusia."

Kembali dengan Amerika yang disebut sebagai dalang. Sebuah vidio yang tersebar di dunia maya menunjukkan seorang Pakar Ilmu Politik Realist yang berasal dari Universitas of Chicago di tahun 2014 telah memprediksi kejadian ini, "Barat memimpin Ukraina ke jalan yang indah hingga hasil akhirnya adalah Ukraina akan hancur." 

Tak sampai di sana, dalam sebuah artikel dipaparkan bahwa, CIA telah melatih dan mempersiapkan milisi paramiliter Ukraina untuk mengambil peran inti membuat pasukan Rusia terjebak jika sewaktu-waktu masuk Ukraina. Dari dulu, mereka sudah merencanakan kejadian ini. Keduanya masuk dalam permainan yang telah lama direncanakan. 

Keduanya dirugikan namun nasi sudah menjadi bubur, Rusia dengan power yang besar tak semudah itu untuk mundur. Ukraina sudah terlanjur menjadi boneka masih tak sadar semakin dipermainkan.

Sebagai intinya, invasi diawali dengan latar belakang Ukraina yang ingin bergabung dengan NATO di mana keputusan ini dengan tegas ditentang. Ukraina dengan ambisinya yakin untuk menang diserang oleh Rusia dengan taktik luar biasa sebab dengan cepat menyudutkan lawan. Namun siapa sangka, dua negara besar ini tak lebih dari sebuah permainan yang telah direncanakan selama bertahun-tahun. 

Seharusnya dari awal Ukraina patuh saja atas perjanjiannya dari awal untuk tak gabung dengan NATO. Dan selama perang terjadi, harusnya pula pihak Ukraina tak terbuai dengan janji padahal sebelumnya hampir ditinggalkan. Tak ada yang tahu akhirnya namun pasti harapan semua orang adalah damai, tak ada perang di dunia ini apalagi perang yang dilakukan oleh negara adidaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun