Duuuuuuuuuuuaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrr. Itu adalah suara ledakan bom yang biasa digunakan oleh para penulis saat menggambarkan peristiwa ledakan dalam tulisannya.Â
Biasanya penggambaran itu akan ditambahkan dengan deskripsi "tubuhku terpental, setelah dentuman keras itu dunia di sekitarku tiba-tiba menjadi tanpa suara dan hanya gelap yang tersisa" atau "9 meter di depanku, tubuh itu muncrat dan menerbangkan tubuh-tubuh lain disekitarnya, aku terkagum dan sekaligus tergelitik karena pemandangan seperti itu mengingatkanku pada lagu balonku".Â
Ahh.. barangkali jika yang kedua itu terlalu ekstrim, masa iya ada orang yang malah tergelitik dan ingat lagu balonku saat melihat bom bunuh diri. Kalaupun yang demikian itu ada, Densus 88 harus curiga orang itulah teroris sebenarnya, sebab tak punya secuil hati nurani!!
      Lain halnya jika itu hanya ada di dalam sebuah karya fiksi, penggambaran itu lumrah sahaja adanya, hal-hal absurd yang menendang birokrasi logika orang modern secara psikologis, sosiologis, dan budaya yang sedang berlaku, memiliki banyak ruang untuk diterima sebagai buah karya sastra.Â
Malah jika beruntung tulisan itu akan dimaknai dan dikaitkan oleh pembaca pada pelbagai hal yang tengah terjadi. Misalnya tulisan soal ledakan itu lahir pada saat awal situasi pandemi Covid-19 terjadi, pembaca dengan kebebasan menafsirkan sebuah karya dapat menyangkutkan ledakan itu dengan virus yang menyebar ke seluruh dunia dan menewaskan jutaan orang.Â
Terlebih lagi jika pembaca karya itu adalah orang yang memahami teori sastra, setelah dibaca seluruhnya dengan sangat teliti kemudian tulisan itu dianalisis berdasarkan teori yang ada di kepalanya, bukan tidak mungkin ledakan itu ditafsirkan sebagai sebuah tanda kekacauan saat masa pandemi.
Suasana terkagum dan sekaligus tergelitik pada kisah di paragraf awal itu dibaca sebagai simbol yang menggambarkan keadaan psikologis yang terganggu akibat pandemi, lebih tajam lagi hal itu ditautkan sebagai gagasan penulis untuk menggambarkan kegagalan pemerintah menangani pandemi dalam berbagai bidang dan dispesifikan pada dunia pendidikan sebab misalnya kisah ledakan itu terjadi di lingkungan sekolah.
      Dengan analisis itu kemudian dibaca lagi oleh khalayak umum, pembaca lebih gila lagi dalam menafsirkan hasil analisis itu, tulisan itu kemudian dianggap telah menggugat keadaan dunia pendidikan karena telah terjadi suatu hal yang memaksa untuk beralih dari ruang belajar fisik yang sudah hancur oleh virus pada ruang digital. Kemudian di luar tulisan itu, pada kenyataannya sedang terjadi sebuah ketidaksiapan perangkat pendidikan untuk beralih ke ruang belajar digital, keluhan emak-emak yang mesti mengisi PR anaknya, sedang anaknya asyik bermain petak umpet dengan sekawannya, menurunnya minat belajar, masalah subsidi kuota, masalah jaringan, cerita-cerita orang yang tak mampu beli kuota bahkan tidak punya telepon genggam, dst.
      Lalu tulisan-tulisan itu makin terngiang di kepala para pembaca, penulis dianggap mampu melihat apa yang tidak terlihat di hari esok alias futuristik. Maka di undanglah penulis itu untuk mengisi seminar-seminar atau bedah buku yang tengah marak di era pandemi melalui zoom meeting. Sebagai penulis yang juga butuh makan untuk idealismenya, diterimalah tawaran yang datang dari publik pembaca karyanya di mana-mana. Penulis itu yang tadinya hanya sekedar menulis saja yang ada di kepalanya, akhirnya jadi sedikit demi sedikit nimbrung mengajukan pendapat atas keadaan yang telah berubah sama sekali oleh pandemi dalam hal ini pendidikan karena dikaitkan dengan karyanya.
      Ketika bicara di hadapan layar dengan para intelektual kampus, penulis itu tak lupa pula berprihatin atas kondisi yang sedang terjadi, sebab pada ceritanya penulis pula sering mendapat keluhan dari teman-temannya yang dosen, bahwa banyak mahasiswa yang kian hari kian surut semangatnya dalam pelajaran, ada pula yang bercerita bahwa kian hari mahasiswa enggan menyalakan kamera saat zoom yang jadinya memberikan kesan seperti latihan monolog di depan kaca, begitu banyak cerita yang penulis itu dapatkan saat sesi tanya jawab dengan para dosen dan mahasiswa di setiap kesempatan seminar online yang diadakan oleh kampus-kampus.
      Di lain waktu saat diundang pada bedah buku yang diselenggarakan oleh komunitas pegiat literasi, penulis jadi ikut sumbang saran agar kegiatan-kegiatan seperti ini lebih diperbanyak, ini adalah ruang alternatif untuk belajar, sarana-sarana belajar yang baru seperti ini pula harus sering dikembangkan dan diajarkan, katanya setelah sedikit cerita pengalamannya saat pertama kali menggunakan zoom meeting tak tahu cara untuk mengaktifkan microphone. Dengan sedikit banyak tambahan cerita soal karyanya yang diyakin-yakinkan kepada pembaca, penulis itu berkata "Tulisan saya ini hanya sebagai penanda zaman, saya telah membebaskan anak saya untuk hadir pada pembaca, maka rawatlah dengan nalar kritis kalian" biasanya omongan itu keluar saat hendak acara mau usai.
       Jalan Keluar
      Dari ceramah ke ceramah di layar laptop yang sedang musim ini, setiap orang disediakan ruang untuk memilih asupan pengetahuan bagi kepalanya. Tak lagi didikte pengetahuan yang sudah diatur dalam kurikulum pendidikan, pandemi dalam hal ini jadi terasa penting karena sudah memberhentikan kita dari segala yang konvensional dan membuat kita menimbang ulang apa saja yang sudah berlangsung selama ini. Perpaduan dunia digital dan pengetahuan jadi menambah cara pandang kita terhadap pendidikan, ternyata begitu banyak yang tak diajarkan di sekolah tapi sebenarnya itu sangat layak untuk kita pelajari bersama sebab rasanya sangat prinsipiel. Misalnya soal pendidikan lingkungan hidup, pada kelas-kelas yang diadakan dalam zoom meeting tentunya banyak diskursus pengetahuan, ketika lazimnya kita tahu bahwa pendidikan lingkungan hidup di sekolah hanya soal cangkok menyangkok tanaman dan bersih-bersih lingkungan sekolah yang mana siswanya juga melakukan kegiatan itu dengan setengah hati, kadang juga segerombolan siswa ada yang mengendap-ngendap ke kantin sekolah. Tentu bagi saya itu tidak salah, sebab kurikulum tak menuntun kesadaran siswa pada persoalan lingkungan hidup. Maksudnya tidak mengaitkan diri setiap siswa sebagai manusia yang punya hubungan dengan sungai, pohon, tanah, dan binatang. Barangkali hal yang cocok bagi para siswa saat mengikuti kelas lingkungan hidup di sekolah ajaklah mereka untuk turun ke sungai terdekat, melakukan observasi sambil memunguti sampah, setelah dikumpulkan sampahnya berilah selembaran pada mereka untuk menyortir sampahnya dan mengelompokannya sesuai dengan merk. Kemudian ingatkan mereka soal sampah itu akan mencemari air, katakanlah bahwa jika mikroplastik hasil cemaran sampah itu akan juga berakibat pada manusia, sebab air sungai bagaimanapun akan selalu jadi sumber air minum manusia, begitulah seharusnya.
      Dari dua soal yang saya sudah bicarakan tentang wacana ruang digital dan pengetahuan, Itulah kiranya upaya untuk mengisi ketidakhadiran atau absennya pemerintah dalam hal-hal yang sangat mendasar bagi kita semua yaitu pendidikan.
      Setelah mengulas keadaan pendidikan pada situasi pandemi dengan perumpamaan seorang penulis dan bagaimana mestinya pendidikan dasar pada anak SD soal lingkungan hidup, mari sekarang kita bicarakan pentingnya sastra untuk kemajuan bangsa Indonesia yang minder ini dengan seringnya menyebut diri sendiri sebagai bangsa yang tak punya budaya menulis, sehingga sampai hari ini kita masih dengan bangga menyebut Indonesia darurat literasi.
      Mula-mula untuk membesarkan hati, saya kutipkan salah satu ungkapan dari seorang penyair Pakistan Muhammad Iqbal "Bangsa-bangsa lahir di hati para penyair, mereka makmur dan mati di tangan para politisi", dari kutipan itu maka bisa kita tafsirkan bahwa imajinasi adalah pondasi awal bagi sebuah negara, maka Muhammad Iqbal mengatakan bangsa itu lahir di hati penyair, penyair yang tentu adalah bagian dari manusia yang memiliki kejernihan hati dan pikiran. Setelah imajinasi itu terbentuk dan ide-ide terkumpulkan maka para politisilah yang menjalankan ide-ide itu dan mewujudkan imajinasinya.
      Dari aspek itulah bisa kita lihat keadaan bangsa Indonesia hari ini, negeri ini bukan kekurangan para penyair ataupun orang yang menekuni dunia sastra, hanya saja pada berlangsungnya gelanggang sastra, ia dipisahkan dari setiap sendi kehidupan, seperti misalnya sastra tak penting bagi pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik. Sastra di Indonesia dikucilkan ke sudut sunyi hiruk pikuk bernegara. Jika Jhon F. Kennedy berkata "Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya." Itu hanya nihil belaka pada keseharian kita hari ini, kecenderungan seni sastra dipaksa berpedoman pada idiom Prancis, seni untuk seni, lainnya tidak!. Jika sudah begini siapa yang akan membersihkan sastra dari kotoran, dan siapa yang bisa meluruskannya dari kebengkokan?
      Di mana lagi bisa kita lihat sastra sebagai suatu yang menjanjikan untuk kemajuan bangsa, mari kita bahas yang sudah lalu dan lampau. Kita batasi saja pada masa pergerakan Indonesia awal-awal, sebagaimana kita tahu para penggagas bangsa Indonesia adalah orang-orang yang kehidupannya dekat dengan sastra, seperti misal Bung Hatta yang umumnya kita tahu ia membawa sekoper buku saat pembuangannya ke Banda Neira, atau Soekarno yang selalu minta dikirimkan buku di setiap surat-menyuratnya dengan tokoh lain saat dipengasingan, Tan Malaka yang kita tahu sebagai orang yang mencetuskan ide dan mengkonsepkan gagasan sebuah republik, dari ketiga inilah barangkali kita harusnya sudah insyaf untuk berkata kita bangsa yang tak punya budaya membaca atau menulis, dari pusaran awal-awal pergerakan bangsa itulah harusnya kita bisa merunut mengapa akhirnya kita bisa mengkerdilkan diri sendiri.
      Kebijakan-kebijakan pembangunan hari ini apa pernah menimbang perkara lingkungan dan manusia? Saya rasa tak pernah itu jadi pertimbangan yang krusial bagi pembangunan infrastruktur, semua sah semua boleh dilakukan asal itu bagian dari proyek strategis nasional. Hal ini bagi saya persoalan paling dasarnya ada pada setiap kepala pemerintahan yang tak punya pandangan terhadap sastra, sastra secara pandangan tak pernah jadi pertimbangan di gedung parlemen, kalaupun ada itu paling hanya sebagian saja. Celakanya, sebab kita menganut demokrasi tentu kalah yang sebagian itu walaupun secara gagasan dan ide cenderung lebih memihak pada kemanusiaan.
      Dari semua inilah berhulu pada sastra yang terlibat, sastra yang masuk pada setiap rumah sebagai pupuk pemahaman awal yang dikenalkan, lalu dilibatkan dalam pendidikan sekolah sampai jadi akar, kemudian seiring waktu tumbuh di kepala setiap orang, dan memperluas pandangan batin setiap manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H