Dalam keadaan demikian, saat ini nampaknya sudah mendesak kita untuk memiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema tersebut. Ilmu sosial yang dimaksud disini merupakan ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai agama.
B. Ilmu Sosial yang Bernuansa Islami
Di masa modern ini ilmu sosial tengah mengalami kemandekan dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Manusia membutuhkan ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan fenomena sosial, melainkan juga dapat memecahkannya secara memuaskan. Kuntowijoyo berpendapat bawa kita membutuhkan ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk kea rah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu, perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal berikut; pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi, dan ketiga transendensi. Cita-cita profetik tersebut dapat diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam surut Ali ‘Imran ayat 110, yamg memiliki arti sebagai berikut:
“Kamu sekalian adalah sebaik-baiknya umat yang ditugaskan kepada manusia menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan beriman kepada Allah.”( QS. Al –Imran, 110).
Dalam ayat tersebut terdapat nilai-nilai kemanusiaan (bumanisasi), liberasi, dan transendensi yang akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Pertama, memiliki tujuan humanisasi yaitu memanusiakan manusia dari proses dehumanisasi. Sebagaimana industri yang saat ini terjadi terkadang menjadikan manusia sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wilayah kemanusiaan. Kita menjalani objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin politik dan mesin pasar, melihat manusia reduksonistik dengan cara parsial. Manusia tidak lagi menyadari keberadaannya secara utuh dan telah menjadi bagian dari sekrup mesin kehidupan.
Kedua, tujuan liberisasi yaitu pembebasan manusia dari kungkungan teknologi, dan pemerasan orang miskin yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa dam berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Ketiga, tujuan dari transendensi yaitu menumbuhkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak terseret terhadap arus hedonisme, materialism e, dan budaya dakaden lainnya. Kina kita harus membersihkan diri dengan mengikatkan kembali kehidupan pada dimensi trasendentalnya.
Dengan mempelajari ilmu sosial profetik, kita diharapkan memiliki pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiris sebagaimana yang dianaut masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu. Denga demikian, maka umat Islam akan dapat meluruskan gerak langkah perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini dan juga dapat meredam berbagai kerusuhan sosial dan tindakan kriminal lainnya yang saat ini banyak terjadi dikehidupan manusia.
C. Peran Ilmu Sosial Profetik pada Era Globalisasi
Dengan ilmu sosial profetik yang telah kita pelajari dari ajaran Islam sebagaimana yang telah kita bahas di atas, kita tidak perlu lagi merasa cemas ataupun takut terhadap dominasi sains Barat dan arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam merupakan sebuah paradigm terbuka, yang selalu membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban.
Islam telah mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan peradaban manusia sejak beberapa abad yang lalu. Kita tidak membangun dari ruang yang hampa. Hal ini bisa dipahami dari kandungan surat Al-Maidah ayat 3, yang artinya: Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Kata telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu mengandung makna bukan membangun dari ruang yang hampa atau membuat yang baru, melaikan yang dimaksud di sini yaitu membangun dari bahan-bahan yang sydah ada. Hal demikian dapat dilihat dari kenyataaan sejarah.
Berdasarkan penjelasan di atas kita mengetahui bahwa Al-qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam diturunkan bukan dalam ruang yang hampa, melainkan dalam setting sosial aktual. Respon normatifnya merefleksikan kondisi sosial aktual itu, meskipun jelas bahwa Al-qur’an memiliki cita-cita sosial tertentu.