Desain kemasan makanan cepat saji yang cerah dan menarik juga merupakan bentuk encoding. Kemasan yang menarik dapat membuat konsumen tergoda untuk membeli produk tanpa membaca label nutrisi. Konsumen yang berada pada posisi dominan-hegemonik akan langsung tertarik pada kemasan yang menarik, sedangkan konsumen yang berada pada posisi negosiasi mungkin akan lebih memperhatikan informasi nutrisi yang tertera pada kemasan.
Proses decoding atau penafsiran pesan oleh individu bukanlah hal yang sederhana dan seragam. Bagaimana seseorang memahami pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks. Ada beberapa faktor utama yang memengaruhi posisi decoding seseorang. Pertama, latar belakang budaya. Pengalaman hidup, pendidikan, dan nilai-nilai yang dianut seseorang sejak kecil membentuk lensa kultural yang unik. Lensa inilah yang akan digunakan untuk menyaring dan menafsirkan pesan yang diterima. Misalnya, seseorang yang tumbuh di lingkungan pedesaan dengan tradisi pertanian yang kuat mungkin memiliki pemahaman yang berbeda tentang makanan organik dibandingkan dengan seseorang yang tumbuh di perkotaan. Nilai-nilai seperti kesehatan, lingkungan, atau status sosial juga turut membentuk cara pandang seseorang terhadap suatu pesan. Kedua, konteks sosial. Situasi sosial, politik, dan ekonomi di mana pesan disampaikan juga memainkan peran penting. Misalnya, selama masa pandemi, pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan akan lebih mudah diterima masyarakat dibandingkan dengan kondisi normal. Demikian pula, kondisi ekonomi yang sulit dapat membuat konsumen lebih sensitif terhadap harga dan promosi. Ketiga, karakteristik teks media. Elemen-elemen visual, audio, dan linguistik dalam pesan media turut mempengaruhi cara pesan ditafsirkan. Gaya bahasa, pemilihan gambar, musik, dan warna dapat membangkitkan emosi tertentu dan mempengaruhi persepsi audiens. Misalnya, iklan makanan cepat saji yang menampilkan orang-orang muda yang ceria dan energik dapat menciptakan kesan bahwa mengonsumsi makanan tersebut akan membuat kita merasa lebih muda dan bahagia. Keempat, pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi seseorang sangat memengaruhi cara mereka menafsirkan pesan. Misalnya, konsumen yang pernah mengalami masalah kesehatan yang terkait dengan makanan olahan mungkin lebih terbuka terhadap pesan tentang makanan organik. Mereka mungkin percaya bahwa makanan organik lebih sehat dan aman dikonsumsi. Kelima, nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai yang dianut seseorang juga berperan penting. Konsumen yang peduli dengan lingkungan dan kesejahteraan hewan cenderung lebih menerima pesan tentang makanan organik. Mereka melihat konsumsi makanan organik sebagai cara untuk berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan mengurangi penderitaan hewan. Keempat, informasi yang tersedia. Akses terhadap informasi yang akurat dan relevan juga mempengaruhi proses decoding. Semakin banyak informasi yang dimiliki seseorang tentang suatu topik, semakin kritis mereka dalam mengevaluasi pesan yang diterima. Misalnya, akses terhadap penelitian ilmiah tentang manfaat kesehatan makanan organik dapat memperkuat keyakinan seseorang terhadap makanan organik.
Eksposur, Media, Negara, dan Pangan dalam Perspektif Hall
Model encoding-decoding Stuart Hall memberikan kita kerangka kerja yang sangat berguna untuk menganalisis bagaimana pesan-pesan dalam iklan makanan organik diproduksi, disebarluaskan, dan ditafsirkan oleh konsumen.
Model ini mempunyai implikasi pada studi media dan komunikasi. Model encoding-decoding menyoroti pentingnya melihat komunikasi sebagai proses yang aktif dan dinamis, bukan hanya transmisi informasi secara pasif. Model ini juga menunjukkan bahwa makna tidaklah tunggal atau tetap, tetapi selalu terbuka untuk negosiasi dan interpretasi.
Pemahaman terhadap konsep eksposur dalam perspektif Stuart Hall memiliki implikasi penting bagi studi media dan komunikasi, terutama dalam konteks pangan. Beberapa implikasi tersebut antara lain, pertama pentingnya analisis kritis. Kita perlu menganalisis secara kritis bagaimana media membingkai isu-isu pangan dan bagaimana pesan-pesan tersebut ditafsirkan oleh audiens. Kedua, peran aktif audiens. Audiens tidak hanya pasif menerima pesan media, tetapi juga aktif dalam menafsirkan dan menciptakan makna. Ketiga, hubungan antara media, kekuasaan, dan budaya. Media, negara, dan kekuatan ekonomi saling berinteraksi dalam membentuk produksi dan konsumsi pangan.
Hubungan media, negara dan pangan dalam analisis Stuart Hall dapat diilustrasikan misalnya media tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga membentuknya. Melalui pemilihan berita, framing, dan narasi, media dapat membentuk persepsi publik tentang pangan, misalnya dengan mengkaitkan makanan tertentu dengan identitas budaya, status sosial, atau kesehatan. Sementara itu, Negara memiliki peran penting dalam mengatur produksi dan distribusi pangan, serta dalam membentuk kebijakan terkait pangan. Media seringkali menjadi alat bagi negara untuk menyampaikan pesan-pesan kebijakan dan mempengaruhi opini publik. Kemudian, pangan tidak hanya memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga memiliki makna budaya yang kuat. Media dapat memperkuat atau menantang makna-makna budaya yang terkait dengan pangan.
Misalnya iklan makanan seringkali menggunakan simbol-simbol budaya dan nilai-nilai sosial untuk menciptakan asosiasi positif dengan produk tertentu. Misalnya, iklan cokelat seringkali mengasosiasikan produk dengan kebahagiaan dan kenangan masa kecil.Â
Lalu liputan media tentang krisis pangan dapat mempengaruhi persepsi publik tentang penyebab dan solusi masalah tersebut. Media dapat mempertanyakan peran individu, pemerintah, atau perusahaan tertentu, atau sebaliknya, menyoroti upaya-upaya untuk mengatasi masalah.
Tantangan dalam Mempromosikan Konsumsi Pangan Sehat melalui Media
Mengacu pada model encoding-decoding Hall, kita dapat mengidentifikasi beberapa tantangan utama dalam mempromosikan konsumsi pangan sehat melalui media: