Christina Maslach: Salah satu ahli paling berpengaruh dalam bidang burnout, Maslach mendefinisikan burnout sebagai sebuah sindrom yang terdiri dari tiga komponen utama:
Kelelahan emosional: Merasa kosong, lelah secara emosional, dan kehilangan empati.
Depersonalisasi: Merasa sinis, bersikap dingin, dan bersikap negatif terhadap orang lain.
Pencapaian pribadi yang rendah: Merasa tidak kompeten dan tidak produktif.
Pines dan Aronson: Mereka memandang burnout sebagai bentuk ketegangan atau tekanan psikis yang kronis, ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional.
Freudenberger: Freudenberger, salah satu pelopor dalam penelitian burnout, melihat burnout sebagai proses bertahap yang dimulai dengan antusiasme yang tinggi, kemudian diikuti oleh tahap stagnasi dan akhirnya kelelahan total.
Dari definisi diatas, intinya  burnout bukan hanya sekadar kelelahan fisik atau mental, tetapi merupakan kondisi yang kompleks yang melibatkan aspek emosional, sikap, dan penilaian diri. Burnout adalah respons terhadap stres kronis yang dapat berdampak negatif pada kehidupan pribadi dan profesional seseorang.
 Burnout dalam Perspektif Budaya
Meskipun kata "burnout" sendiri berasal dari bahasa Inggris, konsep kelelahan akibat tekanan yang berlebihan ini sangat universal dan dapat ditemukan dalam berbagai budaya. Namun, cara setiap budaya memahami, mengalami, dan mengekspresikan burnout bisa sangat berbeda. Artinya, makna kata "burnout" dapat bervariasi tergantung pada konteks sosial dan budaya di mana kata tersebut digunakan.
Konteks budaya ini mengacu pada perbedaan dalam pengalaman, di antaranya:Â