Mohon tunggu...
Siti Khoirnafiya
Siti Khoirnafiya Mohon Tunggu... Lainnya - Pamong budaya

Antropolog, menyukai kajian tentang bidang kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cerita Bersambung | Bunga dalam Badai, Bagian 3

9 Agustus 2024   08:53 Diperbarui: 9 Agustus 2024   09:05 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bagian 3: Pilihan Sulit dan Konfrontasi

Siti menarik napas dalam-dalam, menghirup udara bebas yang terasa begitu segar. Keputusan berani yang baru saja diambilnya bagai embun pagi yang menyejukkan jiwa. Beban berat perjodohan yang selama ini menimpanya, perlahan mulai sirna. Senyum tipis terukir di bibirnya. Akhirnya, ia bisa menjadi tuan atas kehidupannya sendiri.

Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Bayangan wajah Fahri, sahabat karib Arya yang juga merupakan calon suaminya, terus menghantuinya. Ia teringat tatapan mata Fahri yang penuh harap saat melamarnya. Ingatan itu menusuk hatinya bagai ribuan jarum.

Siti tahu betul bahwa penolakannya akan membuat Fahri sangat terpukul. Pria baik hati itu telah menaruh harapan besar padanya. Perasaan bersalah itu semakin menguat ketika ia membayangkan kesedihan yang mungkin dirasakan Fahri saat ini.

Di satu sisi, Siti merasa lega karena akhirnya bisa bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Di sisi lain, ia merasa bersalah karena telah menyakiti hati orang yang sangat ia sayangi. Konflik batin ini membuat Siti semakin terombang-ambing.Di sisi lain, jarak yang sengaja ia ciptakan dengan Arya justru membuatnya semakin merindukan sosok pria itu. Setiap hari, bayangan Arya selalu menghantuinya. Ia merindukan senyuman hangat Arya, tatapan mata yang penuh pengertian, dan juga obrolan-obrolan ringan yang selalu berhasil membuatnya merasa lebih baik.

Sore itu, langit mendung seolah mengerti kesedihan yang menyelimuti hati Siti. Udara terasa dingin menusuk tulang, seakan ikut merasakan pilu yang dirasakan gadis itu. Dengan langkah gontai, Siti menyusuri lorong perpustakaan yang sunyi. Tiba-tiba, matanya menangkap sosok yang tak asing di sudut ruangan yang remang-remang. Fahri.

Hatinya berdegup kencang saat pandangan mereka bertemu. Tatapan mata Fahri yang biasanya ceria kini redup, seperti bintang jatuh yang kehilangan cahayanya. Senyuman tipis yang dipaksakan terukir di bibirnya, namun senyum itu terasa begitu palsu dan menyedihkan, bagai topeng yang menyembunyikan kesedihan mendalam.

"Siti," lirih Fahri, suaranya serak seperti pasir yang terkikis ombak. Sejenak, waktu seolah berhenti. Udara di sekitar mereka terasa begitu berat, penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. "Siti, aku... aku masih menyukaimu," lanjutnya, kata-kata itu keluar dari bibirnya dengan terbata-bata, bagai anak panah yang menembus jantung Siti.

Hati Siti terasa tercabik-cabik seperti kertas yang digunting seratus kali. Ia ingin sekali membalas kata-kata Fahri, namun lidahnya kelu. Air mata yang selama ini ia bendung, kini tak kuasa lagi untuk dibendung. Satu per satu bulir bening itu meluncur bebas di pipinya

Siti terdiam, mulutnya terasa kelu. Hatinya bagai lautan badai yang sedang mengamuk. Ia tidak bisa membalas perasaan Fahri, tapi rasa sayang dan bersalah pada Arya bagai batu besar yang menindih dadanya. "Fahri," gumamnya, suaranya serak, "aku... aku minta maaf. Aku tidak bisa membalas perasaanmu."

Fahri hanya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Ia kemudian berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya berat seperti membawa beban dunia. Siti menatap kepergian Fahri dengan pandangan kosong. Rasanya, ada seonggok es batu yang mencair di dalam hatinya, meninggalkan bekas luka yang mendalam.

Siti terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Hatinya benar-benar hancur melihat Fahri seperti ini. Ia ingin sekali membalas perasaan Fahri, namun ia juga tidak ingin menyakiti Arya.

"Fahri, aku... aku minta maaf," ucap Siti dengan suara bergetar.

Fahri hanya mengangguk pelan. Ia kemudian berlalu meninggalkan Siti dengan perasaan kecewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun