Mentari pagi menyinari wajah Bu Ratna yang sedang menikmati teh. Aroma kopi memenuhi ruang tengah karena Mbah ibu, ibunya bu Ratna sedang menikmati kopi. Azha dan Zhafir, kedua anaknya nampak sibuk bermain. Sumainya sedang mengotak-atik sepeda Zhafir yang nampak bermasalah. Semuanya nampak asyik dengan aktivias pagi di hari libur itu, pertanda hari baru telah dimulai. Namun, senyum yang biasanya menghiasi wajah bu Ratna pagi ini tampak redup. Pikirannya melayang pada Azha, putrinya yang duduk di kelas 5 SD itu.
Sejak kecil, Bu Ratna selalu berambisi agar Azha menjadi anak yang berprestasi. Ia memaksakan Azha mengikuti berbagai les tambahan, meski sebenarnya ia pun tidak mengabaikan waktu bermain dan istirahatn anakya itu. Bu Ratna selalu menekankan pentingnya nilai bagus dan peringkat teratas di kelas.
"Azha, kamu harus rajin belajar, ya! Jangan sampai nilaimu jelek," begitulah kalimat yang sering terlontar dari bibir Bu Ratna.
Azha, yang sebenarnya memiliki bakat olahraga dan hobi mengotak atik gambar, terpaksa menuruti keinginan ibunya. Ia merasa tertekan dan kehilangan semangat belajar. Ia seringkali merasa lelah dan terbebani dengan tuntutan ibunya. Ia nampak terlihat murung dan mengatakan sakit kepalanya di beberapa kesempatan manakala belajar ia nampak tidak menyukai proses pembelajarannya. Berkali kali bu Ratna mengajarinya, Azha menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada bidang pelajarannya. Bu Ratna sangatlah sedih melihat kondisi anaknya itu, ia selalu teringat kata kerabatnya yang mengatakan bahwa anak pertama menentukan kondisi anak berikutnya, jika anak pertama pintar maka ia akan menjadi anak yang sangat pintar sekali. Seperti dogma, itulah alasannya untuk memberikan nama Fathinah pada nama Azha.
Namun, hingga suatu saat kemudian ia mulai menyadari ketika berdiskusi dengna rekan-rekan di kantor bahwa setiap anak mempunyai kelebihannya masing-masing. Ia kemudian merenungi kata kata rekan-rekannya itu. Hingga suatu saat, bu Ratna pun menemukan buku harian Azha. Di sana, Azha menuliskan isi hatinya, meski tulisannya masih belum rapi dalam buku hariannya itu. Ia merasa terkekang dan tidak bahagia. Ia ingin mengejar mimpinya menjadi olahragawan, bukan sekadar mengejar nilai bagus. Dalam tulisannya itu ia menyampaikan isi hatinya bahwa ia sudah berusaha untuk belajar untuk mengikuti semua pelajarannya dan mencoba menyukai semua pelajaran yang diajarkan oleh gurunya. Namun, ia sedih karena ia ingin seperti yang diingankan oleh ibunya tetapi ia tidak tahu bagaimana ia dapat menangkap pelajaran dengan baik sehingga nilainya tidak turun.
Bu Ratna terdiam membaca tulisan Azha. Ia nampak memikirkan tulisan anaknya itu, hingga pada malam ia sholat, ia teringat dengan kondisi anaknya, sentak serasa dirinya atau hatinya sedang mendengarkan sesorang yang menyampaikan padanya bahwa seorang anak bukan milik dari orang tuanya, termasuk ibunya. orang tua adalah manusia yang dititipkan oleh Ilahi untuk meneruskan keturunannya sebagai bagian dari tugasnya sebagai hamba yang mengikuti takdirnya. Seketika itu, bu Ratna tersadar bahwa selama ini ia telah memaksakan keinginannya pada Azha. Ia lupa bahwa anak adalah individu yang memiliki bakat dan minat masing-masing.
"Maafkan Ibu, Azha. Ibu salah. Ibu terlalu fokus pada nilai dan prestasi, sampai lupa bahwa kamu punya mimpi sendiri," ujar Bu Ratna dengan suara bergetar.
Besoknya, di pagi sekolah, ibunya memeluk Azha. Azha nampak terkaget karena mungkin ibunya jarang memeluknya. Azha menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Ia memeluk ibunya erat. "Tidak apa-apa, Bu. Aku mengerti. Aku sayang Ibu."
Sejak hari itu, Bu Ratna mengubah cara mendidik Azha. Ia mendukung Rara untuk mengejar mimpinya menjadi olahraga ataupun mimpi anaknya itu nantinya karena ia masa berkembang pemikirannya, jadi cita-citanya bisa berubah nantinya. Ia mendaftarkan Azha ke latihan Taekwondo yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka dan memberikannya kebebasan untuk mengeksplorasi bakatnya.
Azha pun kembali ceria. Ia belajar dengan semangat dan menemukan kebahagiaan dalam mengejar mimpinya.
Bu Ratna belajar bahwa memaksakan anak untuk mencapai prestasi akademis bukanlah cara yang tepat. Ia menyadari bahwa setiap anak memiliki potensi dan bakat yang berbeda. Tugas orang tua adalah mendukung dan membimbing anak untuk menemukan jalannya sendiri, bukan memaksakan kehendak.
*Amanat:*
Cerita ini mengajarkan kita bahwa setiap anak memiliki potensi dan bakat yang berbeda. Sebagai orang tua, kita harus mendukung dan membimbing anak untuk menemukan jalannya sendiri, bukan memaksakan kehendak kita. Kita harus memahami bahwa kebahagiaan anak lebih penting daripada prestasi akademis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H